Saturday, February 19, 2011

Memerangi Kasus Pencurian Naskah dengan Kemajuan Teknologi

TAHUN lalu, ketika seorang sepupu pulang dari Jakarta dan bertandang ke rumah penulis, tanpa sengaja sebuah naskah hardcopy tebal yang diletakkan pada meja komputer penulis menarik perhatiannya untuk menghampiri naskah itu, diambil, dibolak-balik seraya bertanya-tanya tentang perihal barang tersebut, baru kemudian berkata: berhati-hatilah, Sen, jangan sampai naskahmu dicuri oleh pihak-pihak tertentu!
Menanggapi kata-kata itu, tanpa berminat membahas topik seputar pencurian naskah lebih dalam, penulis hanya tersenyum. Tetapi, di balik senyum itulah, penulis terheran dan berpikir: ah, ternyata sepupuku yang sama sekali tak pernah menyelami dunia sastra pun tahu akan bahaya pencurian naskah yang dilakukan oleh penerbit-penerbit nakal.

Ya, fenomena pencurian naskah ternyata sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh masyarakat luas. Ini bukan sekadar rumor, atau kekhawatiran yang tanpa didasari alasan logis. Kasus-kasus demikian benar-benar pernah terjadi. Kita bisa melihat atau membaca sejumlah kesaksian dari para penulis yang telah menjadi korban, dengan mengetikkan keyword tertentu pada Google search enginer. Setelah menerima naskah tersebut, penerbit nakal akan memberi tanggapan kepada si empunya bahwa naskah itu ditolak dengan berbagai alasan, baru kemudian mengganti judul, nama empunya, dan kemudian diam-diam naskah itu pun diterbitkan.

Akibatnya, penulis bersangkutan pun menderita kerugian besar. Di satu sisi ia tak mendapatkan sepersen pun uang dari hasil kerja kerasnya, di sisi lain saat menawarkan naskah itu ke penerbit lain, ia-lah yang bisa jadi malah disangka telah memplagiat karya orang lain. Karya itu menjadi lahir dan besar tanpa ada yang tahu bahwa sesungguhnya si empunya karya telah dicurangi. Kalau pun kasus tersebut terkuak, masalahnya juga menjadi rumit.

Apalagi beberapa tahun terakhir ini, banyak penerbit, media cetak dan lain sebagainya yang mewajibkan pengiriman naskah dengan format softcopy yang berarti naskah pun menjadi semakin mudah dicuri, tanpa harus repot-repot mengetiknya ulang lagi. Kasus-kasus demikian pun semakin menjadi momok yang menghantui para penulis, terutama pemula yang masih buta total tentang prosedur-prosedur menerbitkan buku.

Sebagian penerbit besar coba untuk menghindari kecurigaan tersebut, dengan masih tetap mempertahankan format pengiriman hardcopy. Namun, lebih banyaknya penerbit tak mau menerima format tersebut, dengan alasan lebih praktis, naskah mudah disimpan dan dibawa ke mana-mana. Memang cukup masuk akal. Tetapi, dengan demikian, para penulis pun menjadi semakin sulit untuk membedakan kawan dan lawan.

Para penulis seolah tak berdaya menghadapi kecurangan-kecurangan tersebut. Benarkah demikian? Tidak juga. Kendati kita memang tak mungkin melenyapkan modus kejahatan yang datangnya dari pikiran dan kelakuan pihak lain, setidaknya kita dapat mengantisipasi, berusaha menghindarinya dengan cara mencari tahu tentang penerbit itu, dan menawarkan format pengiriman softcopy yang menggunakan file tipe PDF.
Sebelum lanjut mengulas masalah seputar pencurian naskah, akan lebih baik bila terlebih dahulu kita mengulas masalah antara keterkaitan sastra dan perkembangan teknologi.

Bukan hanya pada sastra, dalam menekuni bidang apa pun, sebenarnya kita dituntut untuk mampu lebih bersahabat dengan teknologi, demi mempermudah pekerjaan kita. Bila dulu salah ketik satu aksara saja kita harus ulang mengetik satu halaman, kini kita tinggal menekan panah mundur (backspace). Dan bila dulunya kita harus menggunakan penggaris untuk memberi garis bawah sebuah kata atau kalimat, kini kita tinggal menekan Ctrl+U. Segalanya menjadi sangat mudah. Tetapi, ironisnya hingga kini pun masih banyak penulis yang tak paham cara mengoperasikan komputer dengan benar. Bila diminta melampirkan file pada email, mereka pun mengetiknya langsung pada massage body. Mereka juga tak paham dengan apa yang disebut dengan ukuran spasi, ukuran font, Times New Roman, dan lain sebagainya. Padahal tulisan mereka bagus. Bila mau, cukup dengan belajar, mengamati, dan mempraktikkannya, sekali tak bisa, dua kali tak bisa, diteruskan lagi nantinya pasti juga jadi bisa. Kita hidup di zaman modern, bukan satu atau dua dekade silam.

Kembali pada ulasan seputar pencurian naskah. Untuk mencegah dengan mudahnya sebuah naskah dicuri, sudah semestinya penulis belajar meng-convert file tipe Ms Word yang biasa digunakan untuk mengetik dan rawan akan pencurian data, menjadi file dengan tipe PDF (Portable Document Format).

Dengan file tipe PDF, maka memungkinkan penulis untuk memproteksi data di dalamnya agar tak mudah digeser, diedit, atau pun dicetak. Untuk meng-convert-nya kita butuh sebuah software pendukung pada perangkat komputer/laptop yang kita gunakan. Dan kita tak boleh salah memilih software. Kendati tipe PDF dikatakan dapat memproteksi data, namun tergantung pada software PDF converter yang dipilih juga.

Software terbaik yang telah penulis uji dari sejumlah software-software lainnya adalah NovaPDF. Setelah diinstalkan pada komputer/laptop, sesuaikanlah setting yang ada agar file PDF yang dihasilkan terproteksi dengan baik. Untuk software orisinalnya dapat diperoleh pada website: www.novapdf.com.

Terdapat beberapa penerbit yang juga telah memberlakukan format pengiriman naskah dengan file tipe PDF--agar penulis berhak memproteksi naskahnya--dan bila telah disetujui untuk diterbitkan, barulah dikirimkan lagi file dengan tipe Ms Word. Andai kata bila penerbit masih hanya menerima file tipe Ms Word—sekali pun sebenarnya penerbit itu tak ada niat jahat--ada baiknya pula dengan halus kita meminta izin untuk mengirimkannya dengan file tipe PDF. Sekadar antisipasi. Dan penerbit yang jujur dan baik pasti dapat memaklumi hal tersebut.

Perkembangan teknologi selalu diimbangi pula dengan perkembangan trik atau ilmu-ilmu cracker (lebih dikenal: hacker) yang meresahkan. Mengirim file dengan tipe PDF hanyalah upaya untuk menekan angka pencurian naskah. Kendati sulit--dan tak akan penulis uraikan caranya di sini--tetap saja masih ada cara untuk mengubrak-abrik data pada PDF yang telah diproteksi. Oleh karena itu, juga tetaplah mencari tahu tentang penerbit yang hendak kita kirimkan karya kita, sebelum kita mengirimkannya.

Alangkah baiknya, bila untuk ke depannya para penerbit telah bersedia memberlakukan format pengiriman file naskah dengan tipe PDF, baru kemudian Ms Word, bila telah disetujui untuk diterbitkan, sebagai upaya memerangi kasus pencurian naskah. Sekadar opini dan masukan.







2L
2011

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.