Saturday, October 9, 2010

Jangan Bercanda dengan Kata Autis!

(based on my true story)
Oleh: Liven R

         SERING kali kita mendengar seseorang berkata, ‘Autis, loe!’, ketika melihat temannya yang tak henti-hentinya memencet ponsel.
         Sesungguhnya, berhentilah berolok-olok dengan kata ‘autis’ dan lainnya. Mengapa?

          Aku adalah seorang yang mutlak percaya tentang adanya jalinan jodoh yang menyebabkan kita bertemu dengan seseorang di dalam kehidupan ini.
          Jangan salah. Jodoh yang kumaksud di sini bukan hanya jodoh antara sepasang manusia berlainan jenis, atau jodoh suami-istri. Namun, jodoh yang kumaksud di sini adalah ‘jodoh’ dalam arti luas. Ya, lebih tepatnya, bagiku segala pertemuan bisa terjadi hanya karena adanya jalinan ‘jodoh’.
***

         SIANG itu adalah hari pertama anak-anak kembali bersekolah setelah libur panjang kenaikan kelas. Ini juga berarti aku akan kembali bertemu dengan anak-anak didikku. Ya, ada kerinduan untuk bertemu mereka setelah kurang lebih sebulan lamanya tak bertemu.
        Seperti biasa, setelah jam pulang sekolah aku sudah berada di tempat bimbel kami dan menunggu anak-anak datang untuk mulai belajar seperti biasa. Dan, seperti pada setiap tahun ajaran baru, selalu ada murid-murid baru yang mendaftar untuk ikut belajar di bimbel kami. Tahun itu juga demikian. Di antara yang telah menelepon, aku tahu mama Fendi dan Emil akan membawa anak ketiganya yang tahun ini duduk di kelas 1 SD untuk belajar di bimbel kami menyusul kedua abangnya.
       Tak perlu menunggu lama, aku melihat Fendi, Emil, mama mereka, seorang anak kecil, dan seorang pembantu memasuki tempat bimbel kami.
       “Lao Shi (Guru), ini Bobby,” ucap mama Bobby memperkenalkan Bobby padaku. Aku tersenyum dan mengiyakan. Sementara kedua abangnya menuju tempat duduk masing-masing, kupandangi Bobby yang terlihat asyik dengan mainan di tangannya.
       Tak seperti anak pada umumnya, Bobby terlihat cuek dan tak peduli. Sejak masuk dia hanya sibuk dengan mainannya dan sama sekali tak memandangku barang sebentar pun.
       Seolah mengerti tatapanku, mama Bobby segera berkata, ”Bobo, mainannya biar Mama bawa pulang dulu, ya?!” Sesaat kulihat Bobo—begitu Bobby dipanggil—sepertinya tak bersedia melepaskan mainan gasing dan helikopternya. Sesekali dia terlihat tertawa kegirangan. Ya, mama Bobo (biasa kupanggil tante) pasti tahu aku tak suka anak-anak membawa mainan ke tempat les. Bagaimana anak bisa belajar jika pikirannya lengket pada mainannya itu?
       “Tak mengapa, Tante,” Aku mencoba mengalah ketika kulihat Bobo memberontak saat mainannya direbut. Ini adalah hari pertama Bobo datang, jangan membuatnya takut dan trauma berada di sini, begitu pikirku.
       “Bo, Bobo, ayo panggil Lao Shi!” ucap Fendi, abang kedua Bobo yang sudah duduk di kelas 2 SD itu sambil menarik-narik lengan adiknya. “Lao Shi, Bobo nggak bisa berbicara,” lanjutnya lagi padaku dengan senyum polos seorang anak kecil.
       “Hah? Bobo belum bisa berbicara?” Pertanyaan ini kutujukan kepada mama mereka.
       “Bisa. Hanya belum bisa begitu jelas. Di rumah dia biasa berbicara bahasa Indonesia, kalau di sini, terserah Lao Shi bagaimana mengajarinya. Dengan bahasa Hokkian atau Mandarin pun boleh...,” terang mamanya.
        Aku mengangguk. Ada rasa heran menyergap pikiranku. Anak kelas 1 SD belum bisa berbicara dengan jelas? Karenanya, aku mencoba mengajak Bobo berbicara semisal: tadi di sekolah belajar apa? Tahun lalu dapat juara berapa? Tapi sepertinya Bobo tak suka menjawab pertanyaanku. Dia masih sibuk menerbangkan helikopternya. Sedikit pun tak terlihat dia sedang mendengarkanku. Dan, upss! Astaga! Aku melihat lantai tempat di mana Bobo berdiri basah.
       “Lho, dia masih mengompol di celana?” Belum habis rasa heranku yang satu, muncul lagi rasa heran berikutnya.
        “Oh, sorry, Lao Shi. Bobo biasa bisa memberitahu kalau mau pipis. Ini pasti karena keasyikan bermain,” jawab mama Bobo sambil cepat-cepat menarik Bobo ke samping, dan pembantunya segera pulang mengambilkannya celana ganti. Rumah mereka memang tak jauh dari tempat bimbel kami. Hanya berseberangan jalan saja.
        “Dicoba saja, Lao Shi,” ucap mamanya membaca kebingungan di wajahku.
         Dicoba? Ya, sejujurnya aku tak pernah tahu bagaimana karakter seorang murid baru sebelum mencoba mengajarinya. Adalah baik jika kebetulan murid yang datang ke bimbel kami adalah anak yang cerdas dan rajin. Sebaliknya, jika murid yang datang hanya berkemampuan otak pas-pasan dan pemalas pula, maka tentunya harus ada kerja keras ekstra untuk membimbingnya.

        Tak ada alasan bagi kami untuk mengatakan kepada orangtua murid bahwa anaknya ‘kurang pandai’ atau ‘ber-IQ jongkok’, karena bukankah jika mampu, mereka tak perlu mengikuti bimbingan lagi?
       Akhirnya aku menerima untuk ‘mencoba’ membimbing Bobo dan memberi isyarat tangan kepada mama Bobo untuk pulang saja dengan diam-diam. Aku khawatir Bobo akan menangis jika melihat mamanya pulang.

       Aku akan mengatasi Bobo dan juga mainannya itu nanti, pikirku. Melalui pengalamanku, setiap anak akan segera menurut ketika orang tuanya telah pulang. Sebab mereka pasti tahu ini adalah wilayah kekuasaanku, dan mungkin anak-anak yang polos itu berpikir nyawa mereka terancam jika tak menurut atau membandel. Wah!

       Dan, di luar dugaanku, Bobo seharian itu bahkan tak mencari mamanya.
***

       MENERIMA Bobo sebagai murid, mengawali sebuah kisah baru tentang pengalaman mengajar seorang anak autis di dalam riwayat hidupku.

      Bobo adalah seorang anak autis! Itulah yang aku sadari setelah mulai berinteraksi dengannya. Ya, dari perkenalan singkat siang itulah jalinan jodoh antara aku dan Bobo sebagai guru dan murid berawal. Dan, dari situ jugalah titik mula dari semua cerita suka dan duka mengajar Bobo mengalir dan mungkin akan menjadi kisah yang tak terlupakan seumur hidupku.
***

       BOBO, seorang anak yang sehat secara fisik, namun mengalami keterlambatan perkembangan mental. Hal ini perlahan kusadari ketika aku mulai kesulitan membimbingnya belajar. Kendala demi kendala mulai kurasakan ketika aku menyadari prilaku Bobo tak lazim! Bobo kerap melukai tangan dan kakinya sendiri hingga berdarah-darah. Oh, Tuhan!

        Anda tentu membayangkan bagaimana sakitnya tangan dan kaki yang setelah berdarah, ditusuk dengan pensil atau alat tulis lainnya? Atau Anda membayangkan Bobo menangis dengan luka menganganya itu? Tidak! Seperti apa pun lukanya, Bobo tak menangis! Bahkan dia sibuk bermain dengan luka menganganya itu.

       Karena lukanya itu, tak jarang aku meminta abangnya mengantarnya pulang untuk dibalut dahulu dan kemudian kembali lagi ke tempat les.

       Kendala lain yang aku hadapi adalah kendati aku berhasil membuatnya duduk di hadapanku tanpa mainannya, namun aku kesulitan menyampaikan materi pelajaran kepadanya. Hal itu terjadi karena aku tak mengerti apa yang diucapkan Bobo, dan Bobo juga tak mengerti apa yang aku ucapkan. Aku selalu membutuhkan Fendi atau Emil untuk membantuku menerjemahkan apa yang ingin Bobo sampaikan kepadaku.

       Sejujurnya, sebelum mengenal Bobo aku hanya tahu apa yang dimaksud dengan ‘autis’ dari beberapa buku dan koran yang kubaca. Suatu ketika, aku tercengang saat membaca ciri-ciri anak autis pada sebuah media cetak. Di sana tertulis beberapa ciri-ciri anak penderita autis yang sama persis dengan tingkah laku Bobo.

       Mau tak mau aku percaya Bobo adalah salah satu dari sekian banyak anak penderita autis. Dan, yang menjadi masalah, Bobo bersekolah pada sebuah sekolah swasta yang cukup bermutu, dan bukan pada sekolah luar biasa.
***

      HARI-hari mengajar Bobo terasa begitu sulit. Rasanya ketahanan jiwa dan fisikku benar-benar sedang diuji. Bohong jika kukatakan aku tak stres menghadapi Bobo. Berulang kali kukatakan kondisi Bobo pada mamanya dan berharap mamanya mengerti bahwa aku tak dilahirkan dengan perlengkapan kemampuan yang membuatku mampu mengajar Bobo yang berkebutuhan khusus. Namun, berulang kali juga mamanya mengatakan padaku bahwa dia mengerti kondisi anaknya, dan tetap berharap Bobo dapat memperoleh pendidikan layaknya anak-anak normal lainnya.

      Selain itu, mamanya mengutarakan kekhawatirannya padaku, bahwa dia takut kondisi Bobo akan     semakin tak menentu jika kemudian menjadi tak bersekolah. Jadi bagi keluarganya, sekolah luar biasa bukanlah solusi untuk Bobo. Mamanya juga mengatakan padaku, dia tak akan pernah menyalahkanku jika suatu saat Bobo tinggal kelas. Keinginan mama Bobo hanya satu, Bobo tetap diterima dan dibimbing belajar!

       Jujur kukatakan, aku bimbang! Dilema antara perasaan kasihan dan tekanan serta kelelahan yang kuhadapi bila aku terus mengajar Bobo berputar-putar di kepalaku. Aku akan berusaha semampuku! Akhirnya, hanya itu yang bisa kukatakan pada diriku sendiri.

       Hari-hari selanjutnya, aku berusaha ‘mempelajari’ Bobo. Mengulang suatu materi pelajaran yang sama puluhan kali bahkan lebih sudah merupakan hal yang biasa bagiku. Lelah? Jangan ditanya! Aku mencoba segala cara untuk membuat Bobo mengerti. Selanjutnya, rasanya aku semakin gila ketika aku mulai mencoba mempelajari bahasa Bobo (bahasa planet lain?) dan mencoba menyampaikan materi pelajaran kepadanya dengan bahasa anehnya itu. Jika sudah demikian, ingin rasanya aku menyerah! Kelelahan mengajari seorang Bobo, sebanding dengan mengajari 15 anak yang normal!

       Aku kerap berpikir, mengapa aku mau menerima tugas seberat ini? Bukankah Bobo seharusnya  dibimbing seorang guru berpengalaman pada sekolah luar biasa? Aku tak punya pengalaman menghadapi anak autis! Aku tak sanggup!

       Namun, setiap kali pikiran ini muncul, selalu muncul pula pikiran lain tentang semua harapan orangtuanya. Jika kukatakan aku tak lagi bersedia membimbing Bobo, orangtuanya pasti akan kecewa. Dan, bagaimana jika selanjutnya tak ada guru yang bersedia menerimanya? Akankah Bobo menjadi semakin terbelakang? Tidak! Aku tak sanggup mengatakan itu! Terlebih jika aku teringat wajah Bobo. Ah, bukankah Bobo juga tak pernah memilih untuk dilahirkan dengan kondisi seperti itu? Aku seharusnya berbuat semampuku untuk membimbingnya! Lagi-lagi hanya itu yang bisa kukatakan pada diriku.
***

        HARI demi hari, kami (aku dan orangtua Bobo) bekerja sama melewati kendala demi kendala yang ada bersama-sama. Tiada hari bagiku tanpa menerima telepon atau pun menelepon mama Bobo berkisar masalah pelajaran Bobo di sekolah.

        Sudah menjadi tugas mama Bobo untuk menemui guru mata pelajaran di sekolah tatkala Bobo membawa pulang buku ujian yang seharusnya dikumpulkan kepada guru seusai ujian. Atau, ketika semua tugas bernilai yang seharusnya dikumpulkan tepat waktu, Bobo justru menyimpannya berhari-hari di dalam tasnya.

       Bukan hanya itu, hampir setiap hari ada saja buku/alat tulisnya yang hilang atau tertinggal di sekolah. Bolak-balik berulang kali antara rumah, sekolah, dan tempat les sudah menjadi kegiatan rutin bagi mama Bobo.

      Tak jarang karena lelah dan kesal, mama Bobo pun memarahi dan memukul Bobo.
      “Anak-anak lain tahu Bobo tak bisa mengadu dan melawan, setiap hari ada saja yang mengambil alat tulisnya,” adu mama Bobo kepadaku.

      Apa yang bisa kulakukan? Hanya ikut menasehati Bobo!

      Aku bersyukur ketika kemudian di tempat bimbel kami masuk lagi beberapa murid yang sekelas dengan Bobo. Dengan demikian, aku dapat melengkapi pelajaran yang tak Bobo salin dari teman-temannya (dan mengurangi kelelahan mama Bobo tentunya). Teman-teman sekelas Bobo itu jugalah yang kemudian menjadi mata-mataku dan menjadi sumber informasiku tentang prilaku Bobo di sekolah dan tugas apa saja yang diberikan kepada Bobo di sekolah.
***

       BULAN demi bulan berlalu. Kami semua sudah terbiasa dan dapat beradaptasi dengan Bobo, meskipun tingkah lakunya tetap bagaikan bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu dan membuat sport jantung. Tentang cara belajar, prilakunya yang terkadang buang air besar di celana, dan semacamnya, sudah bukan hal baru lagi bagi kami.

       Membicarakan tingkah lakunya yang kerap membuat kami panik, membuatku teringat pada kejadian ‘heboh’ di suatu siang.

       Kala itu, ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung, Bobo tiba-tiba berteriak dengan bahasanya, “Penghapus masuk hidung! Penghapus masuk hidung!”
      “Apa? Sini, Lao Shi lihat!” kataku. Dan, Astaga! Benar saja! Sebuah penghapus sebesar satu ujung buku jempol tangan terlihat menyumbat lubang hidungnya. Kontan seisi kelas geger! Bobo terlihat berusaha mengeluarkan penghapus itu dari hidungnya yang justru membuatnya masuk semakin dalam dan tak bisa dikeluarkan.

      Segera telepon dipencet, dan bagaikan roket meluncur meninggalkan terminalnya, papa dan mama Bobo segera tiba di tempat bimbel hanya dalam hitungan detik! (lebay? Tidak!)

      Dengan pinset dan segala macam alat, papa Bobo berusaha mengeluarkan penghapus itu dari hidung Bobo. Para tetangga (ibu-ibu yang memang selalu kurang kerjaan) segera berdiri di luar pagar halaman dan sibuk ngerumpi. Proses belajar mengajar menjadi terhenti. Jika ada wartawan yang lewat, aku rasa dia akan tertarik memberitakan kejadian ini di surat kabar!

       Setelah tak berhasil, akhirnya orang tua Bobo membawa Bobo ke dokter THT dan menghabiskan biaya yang tak sedikit untuk mengeluarkan penghapus itu.

        Ah, aku sering berpikir, kejadian seperti ini mungkin hanya pernah terjadi di bimbel kami dan oleh seorang Bobo.
***

        SEIRING berjalannya waktu, setahun membimbing Bobo pun berlalu. Bobo sudah semakin lancar berbicara dan tiap ucapannya sudah bisa dipahami dengan jelas. Entah itu karena sudah adanya perkembangan pada diri Bobo, atau aku yang sudah semakin menguasai bahasa Bobo, aku pun tak jelas. Yang pasti, kami sama-sama ada kemajuan dalam hal komunikasi.

        Akan tetapi, untuk mengerti materi pelajaran, Bobo tetaplah mengalami kesulitan. Setiap hari sebelum Bobo datang, aku akan membaca semua materi pelajaran yang sedang berjalan di sekolah dan memikirkan cara apa yang akan aku gunakan untuk mengajari Bobo. Cara yang tak lazim namun bisa dimengerti oleh Bobo. Hal ini tak pernah aku lakukan sebelum Bobo menjadi muridku. Ya, anak lain tentu tak butuh penjelasan atau pun cara-cara yang khusus (tak lazim).

       Mendapat nilai 100 hari ini, dan esoknya mendapat nilai 30 sudah merupakan hal yang biasa bagi Bobo. Mengapa? Sebab untuk sebuah soal yang sama persis dengan yang dipelajarinya, Bobo mampu menjawab dengan sempurna, sedangkan untuk soal yang memiliki makna yang sama namun berbeda susunan kalimat saja, Bobo tak mampu menjawabnya lagi.

       Aku, dalam hal ini sering merasa gagal apabila melihat nilai Bobo yang ‘amat kurang’ itu. Karena itu, untuk sebuah soal yang sama, aku kerap menyalinnya dengan berbagai bentuk dan berharap bisa membantu Bobo ketika menemui soal yang terbalik susunannya di sekolah nanti.

        Tak dipungkiri, mengajari Bobo amatlah menyita waktu. Bayangkan! Aku harus menyalin setiap soal dari semua mata pelajarannya. Ketika teman-temannya cukup didikte untuk pelajaran hafalan, Bobo harus dengan menuliskannya. Dan, Bobo tak pernah menguasai pelajaran hanya dengan sekali tulis! Jadi, aku harus membuatkan soal yang sama dengan berbagai bentuk berkali-kali. Aku sadar, waktuku banyak yang habis hanya untuk menyalin soal-soal untuk Bobo. Tak jarang aku menyalinnya hingga larut malam.
***

       TUHAN selalu menyertakan talenta tersendiri bagi makhluknya. Tentu!

       Satu hal dalam diri Bobo yang merupakan kelebihannya adalah ketekunannya. Bobo tak pernah mengatakan ‘Tidak’ meski disuruh mengulang pelajaran berapa kali pun. Mungkin Anda tak percaya jika kukatakan hari-hari Bobo hanya diisi dengan belajar dan belajar. Ya, pagi hari dia belajar di sekolah. Siang sampai sore di tempat bimbel kami. Dan, pada malam hari giliran kakaknya yang mengajarinya di rumah. Apa boleh buat? Sebab jika tak demikian, kami khawatir Bobo tak dapat menguasai pelajaran. Semua yang kami lakukan hanya karena ingin Bobo bisa sejajar dengan anak lainnya.

        Masa-masa mendekati ujian semester adalah masa paling sibuk bagiku. Banyak hal yang terpaksa kutinggalkan demi membuat persiapan agar Bobo dapat ikut ujian meskipun hanya mendapat nilai ‘cukup’ (jika nilai ‘lebih’ sulit dijangkau Bobo). Menjelang masa ujian, aku mengajar Bobo dari Senin-Jumat. Sabtu dan Minggu aku memberinya bimbingan ekstra dari pagi hingga sore. Jadi, boleh dikatakan aku bertatap muka dengan Bobo dari Senin-Minggu. Tak ada kata ‘libur’ bagi aku dan Bobo.

        Sering kali aku diolok oleh tetangga yang kebetulan berpapasan denganku saat aku hendak berangkat mengajar di hari Minggu/libur: Murid yang bodoh atau guru yang bodoh, nih? Sampai libur pun mengajar? Menanggapi itu aku hanya tersenyum, “Sama bodohnya,” sahutku.

        Ah, selagi aku masih sanggup dan jalinan jodoh ini belum berakhir, pikirku. Dan, Anda salah jika mengira aku menerima bayaran lebih untuk semua ini!

       Mengajari Bobo tanpa istirahat, tentu ada konsekuensinya bagi kesehatanku. Tak jarang ketika libur ujian semester/kenaikan kelas, aku pun tumbang. Di saat semua orang berliburan, aku justru terbaring menghabiskan masa liburanku. Ya, wajar saja! Robot pun bakal aus jika dipaksa bekerja tanpa istirahat, ya?!

        Namun, semua kelelahanku terbayar setiap kali aku mendapat kabar: Bobo naik kelas! Ya, asal tahu saja, meski dengan nilai pas-pasan, Bobo tak pernah tinggal kelas.

        Dari diri Bobo, aku belajar tentang ketekunan. Aku kerap berpikir, hal yang bisa menyebabkan seorang anak tinggal kelas hanyalah sebuah kata ‘malas’. Aku sungguh bangga terhadap Bobo, meski serba kekurangan, namun bermodal ‘ketekunan’, dia tak pernah tinggal kelas!
***

       SELAIN segala kekurangannya, Bobo ternyata anak yang ceria. Banyak hal yang dia ceritakan padaku di jam makan siang kami. Ya, selain membimbingnya belajar, aku juga kerap terlibat dalam kegiatan sehari-harinya di rumah.

        Aku tak tahu sejak kapan setiap kali Bobo menangis di rumah, mamanya akan meneleponku dan memintaku berbicara pada Bobo. Atau, ketika Bobo membandel di rumah, aku akan menasihatinya di telepon. Dan, biasanya aku cukup berhasil membuat Bobo diam.

       Suatu ketika, mama Bobo meneleponku sekitar jam 19.00. Bobo yang sedang menangis diminta berbicara padaku. Apa pasal? Ternyata, ketika pulang dari tempat bimbel sekitar pukul 18.00, Bobo tak langsung pulang namun bermain dengan teman yang ditemuinya di jalanan. Teman-temannya yang usil itu mengejek dan membuka celana Bobo di jalanan. Dengan celana setengah melorot, Bobo berlari dan terjatuh hingga lututnya berdarah. Dalam isak tangisnya di telepon, Bobo mengadu dan memintaku memarahi teman-temannya yang bandel itu. Kukatakan ‘Ya!’.

        Keesokan harinya, Bobo memperlihatkan lututnya yang terluka. Ada perih dan sesak di dada membayangkan Bobo dipermainkan anak-anak bandel itu. Akan tetapi, ah, namanya juga anak-anak! Mereka belum mengerti!
***

        TAK terasa semenjak kedatangan Bobo kecil ke tempat bimbel kami, diam-diam 6 tahun berlalu.
Memasuki tahun ajaran baru di kelas 6 SD, tentu merupakan tahun di mana Bobo akan segera menjelang ujian kelulusan UAS/UASBN.

        Aku benar-benar khawatir. Bagaimana tidak? Selain kendala materi yang demikian banyak, Bobo juga tak mengerti bagaimana cara mengisi lembar jawaban komputer yang telah ditentukan.

           Segala cara kami tempuh bersama agar Bobo mampu menghadapi semua ujian kelulusan itu.
Ketika pembagian nomor urut peserta ujian berlangsung, menjadi tanggung jawab teman-temannya untuk ikut mencatat nomor urut Bobo dan kemudian memberitahuku untuk kemudian dihafal Bobo di tempat bimbel.

            Berlatih mengisi lembaran jawaban, terus menerus dilakukan Bobo di bawah bantuan teman-temannya hingga dia mampu. Aku sungguh salut dengan teman-teman sekelasnya yang kerap membantunya mengerjakan hal-hal yang tak dimengerti Bobo.

          Namun, meski kami telah berdaya upaya, Bobo di tahun itu tetap harus mengikuti Paket Kejar A pada akhirnya. Ya, sebab pada dasarnya meski aku dan orangtuanya sanggup membuatnya lulus Ujian Akhir Sekolah, dia tetap tak mampu lulus dari soal ujian pemerintah. 
***

         HARI ini secara kebetulan aku mendengar suara marah yang ‘khas’ dari kejauhan jalanan. Aku mengedarkan pandanganku keluar jendela. Benar dugaanku! Mama Bobo lewat sambil menyeret Bobo dan tak hentinya marah. Sekilas kudengar omelan tentang alat tulis yang hilang.

        Bobo yang lewat terlihat sudah lebih besar dan tinggi. Dia kini duduk di kelas VIII-SMP. Ya, jalinan jodoh guru dan murid antara aku dan Bobo sudah berakhir di tahun 2008, disebabkan aku juga memiliki batas-batas kemampuan untuk terus membimbing Bobo.

         Melihat Bobo, membuatku teringat kembali masa-masa mengajarnya dulu. Masihkah Bobo seperti dulu kerap menghilangkan barang-barangnya?
***

          AUTIS bukanlah sebuah lelucon.

         Jika seseorang dapat tertawa dengan kata-kata ejekan seperti ‘autis’, pastilah dia seorang yang tak pernah mengenal/menyelami apa sesungguhnya dunia autis.

         Sebuah keluarga dengan anggota yang mengalami autis, bisa kupastikan tidaklah mudah. Demikian juga dengan seorang ibu yang memiliki anak autis pastilah membutuhkan perjuangan lebih untuk membimbing dan membesarkan anak tersebut. Mama Bobo contohnya.

        Sering kali sebuah lelucon meluncur begitu saja dari mulut kita tanpa kita sadari adanya orang lain (yang ikut mendengar) dengan kondisi yang sama akan tersakiti.

         Namun, seorang penderita autis di masa kecilnya, bukanlah jaminan kondisinya akan sama di masa dewasanya.

        Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia dan juga pendiri Microsoft Office, konon juga merupakan seorang autis di masa kecilnya. Namun, Bill Gates mampu menjadi salah seorang yang sukses di masa sekarang.

        Segala kondisi manusia hanyalah Tuhan yang tahu. Besok dan lusa tetaplah terbuka peluang bagi Bobo untuk menjadi seorang Bill Gates kedua. Ya, siapa tahu?!

        Yang terpenting, berempatilah selalu terhadap seseorang dengan kondisi berkebutuhan khusus. Dan, janganlah bercanda dan tertawa dengan penderitaan orang lain.
***
NB: nama tokoh bukanlah nama sebenarnya

Medan Area, 9 Oktober 2010

12 comments:

  1. sayangnya di skolah gw pada sok sempurna dan sok hebat, gw di bilang autis mulu, pengen gw hajar 1 per 1

    ReplyDelete
  2. Nice post, Ven.. salut kepada Bobo dan juga Liven. :) apa kabarnya sekarang, Ven?

    ReplyDelete
  3. Liven,membaca karya anda ini sgt menggugah hatiku.. Jgn pernah kap0k diejek tetangga hny krn hal gk berguna tsb,. Derita bobo gw bs ngerti,teringat masa kecil daku jg pnh diejek sama hal nya kayak cerita bobo.. Emg rasanya pahit sekali. Smg bobo tetap ingat ma liven sbg lau se terbaik kelak dimasa suksesnya :) ~ c julie ~

    ReplyDelete
  4. Anonim: Jangan main kasar dong. kesabaran Anda diuji, ya?! Orang sabar disayang Tuhan. Hehehe...
    You're the best, ok?

    Dewi Yan: Abangnya masih di tempat bimbel kami sampai sekarang. Terkadang Ven bertanya padanya kabar Bobo. Ya, tahun ajaran baru ini mamanya ada nelpon dan mengabarkan dengan gembira: Bobo naik kelas!
    Thanks, Wi!

    ReplyDelete
  5. wahh.. itu kabar baik. he.. jadi Bobo sekarang masih tetap bersekolah di sekolah swasta itu kan? masih les juga ya?

    ReplyDelete
  6. Ci Julie:
    Ya. Terima kasih dorongan semangatnya. Bertahun-tahun kemudian, Ven pastilah hanya sebagian kecil dari masa lalu Bobo. Tak berani berharap dia masih ingat Liven. Tak mengapa. Kita doakan yg terbaik untuk dia, ya.
    Thanks, Ci Julie.
    Sukses untuk Cici...

    Dewi Yan:
    Yup! Masih Bobo masih bersekolah pada sekolah swasta yang sama. Masih tetap membutuhkan bimbingan seorang guru. Kabarnya entah sudah pindah berapa guru semenjak dari tempat kami. Tapi itu bukan masalah. Yg penting tetap ada yg membimbing dan naik kelas.

    ReplyDelete
  7. Sungguh luar biasa perjuangan Liven membimbing seorang anak autis. Terkadang membimbing mrk yg daya tangkap kurang aja dah kewalahan apalagi seorang anak autis.
    Salut buat Liven!

    ReplyDelete
  8. Dear Jie Alui.
    Makasih atensi dan apresiasinya, ya.
    Gbu, Jie!

    ReplyDelete
  9. Boleh tahu, Ven, Bobo skul di mana? Dan apakah ibunya pernah bercerita bagaimana Bobo di sekolah? mengenai teman2 atau guru2nya?

    oh ya, komen ini sekalian mengundang Liven mengunjungi blog dewi. memang tidak seperti myartdimension ini yang sangat berbobot. begitupun, silahkan mampir ya bila sempat. thanks...

    ReplyDelete
  10. Dear Dewi Yan.

    Kita menghindari menyebut merek di sini ya. Tapi Ven bisa memberitahu Dewi kata bantunya untuk Dewi jawab dalam hati saja: Bobo skul di sekolah yang sama dengan sekolah kita dulu. :-)
    Mengenai guru dan teman-temannya yg di sekolah, Ven kurang tahu. Hanya terkadang Ven tahu kalau teman2nya (yg les di bimbel kami) cerita Bobo nangis atau gimana di sekolah krn suatu hal.

    Ok, undangannya diterima dgn senang hati. Ven akan berkunjung nanti.
    Thanks a lot, Wi!

    ReplyDelete
  11. Ini kali pertama mengunjungi blog Liven. Terima kasih atas sharingnya. Salut, Liven mau berusaha mengajar Bobo yang istimewa. Salam buat Bobo dan keluarga. Semoga Bobo semakin mandiri. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak atas kunjungannya, Kak Haya. Salam hangat selalu! :)

      Delete

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.