Thursday, September 24, 2015

Suka Meletakkan File di Desktop?!



TIDAK dapat dipungkiri, sebagian pengguna komputer/laptop memiliki kebiasaan untuk meletakkan begitu saja sejumlah file—baik dokumen, foto, hingga sejumlah aplikasi berat—langsung pada desktop. Selain dianggap praktis karena kita usah mengakses berlapis-lapis folder pada harddisk ‘hanya’ untuk menentukan ruang penyimpanan, file tersebut juga menjadi lebih mudah diakses atau ditemukan, karena langsung terlihat begitu komputer dinyalakan.
Kebiasaan mengandalkan desktop sebagai ruang penyimpanan umumnya berawal dari ketika seorang pengguna baru mengenal komputer/laptop, lalu mereka kesulitan untuk menghafal seluk-beluk dari sejumlah ruang pada harddisk. Hal itu pun tetap mengakar, sekalipun si pengguna telah terampil dan memahami setiap ruang pada harddisk-nya. Alasan lain ialah ketika kita sedang mengerjakan suatu tugas, kita ingin menghemat waktu barang beberapa detik pun, maka segala sesuatu kita tumpuk pada desktop. Sampai-sampai wallpaper yang terpasang nyaris tanpa ruang kosong!
Terlepas dari praktisnya meletakkan segala sesuatu pada desktop, ternyata ada pula beberapa hal negatif—atau katakanlah risiko—dari kebiasaan tersebut. Apa sajakah?
Pertama dan yang paling pasti, di balik tampilan cantik desktop yang memungkinkan kita untuk memasang wallpaper atau gadget tertentu, desktop sebenarnya juga sebuah folder yang tersimpan pada harddisk. Ketika kita menumpuk desktop dengan jumlah file yang berat, maka setelah booting komputer/laptop akan membutuhkan waktu lebih lama sampai dapat berfungsi secara benar. Hal ini disebabkan banyaknya file yang perlu di-load dari desktop. Padahal sejatinya sebuah komputer/laptop yang baru menyala tidak dianjurkan untuk langsung digunakan.
Kedua, lokasi asli dari folder desktop terletak pada partisi C—atau partisi di mana diinstalkannya Windows (OS). Ketika kita menyadari betapa rentannya file pada partisi C akan turut ter-format ketika adanya kerusakan pada Windows, maka sama besarnya juga risiko apabila kita menyimpan file pada desktop. Karena desktop adalah bagian dari partisi C. Selain desktop, ada pula lokasi penyimpanan yang disebut My Document—atau Document saja—yang juga sering kurang disadari oleh pengguna bahwa kedua lokasi tersebut adalah bagian dari partisi C. Teknisi yang terampil biasanya akan mengamankan data dari kedua lokasi ini sebelum mem-format  komputer/laptop bersangkutan. Namun, tentu saja akan lebih baik bila kita sendiri mengantisipasi hal tersebut.
Ketiga, partisi C memegang peran besar dalam menjalankan berbagai program pada sebuah komputer/laptop. Ketika kita dapat tetap menjalankan berbagai program berat walaupun partisi selain C pada harddisk telah penuh, maka hal tersebut mustahil apabila partisi yang penuh adalah partisi C. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam menjalankan berbagai program, akan terdapat sejumlah file tak terlihat yang bekerja di belakang, dan semua file itu akan mengandalkan memori pada partisi C. Salah satu contoh paling umum, komputer/laptop tidak akan menjalankan perintah burning DVD (merekam DVD), bila sisa memori pada partisi C di bawah 4 GB. Dengan menumpuk file pada desktop, maka itu akan memakan ruang pada partisi C yang semestinya perlu tetap dijaga agar lapang.
Keempat, sekaligus yang terakhir, namun—mungkin—dianggap tidak begitu penting. Satu kalimat sederhana; itu merusak pemandangan!
*
24 September, 2015
Lea Willsen, penulis buku-buku terbitan Elex Media Komputindo dan ANDI

Tuesday, September 22, 2015

Burn-in Headset?!



Istilah burn-in headset, tentu tidak merujuk pada aktivitas membakar headset dengan korek api, ataupun seperti ketika kita akan merekam data pada sebuah disc, di mana kegiatan tersebut juga akrab disebut burn-in CD atau DVD.
Sesuai keyakinan yang beredar di kalangan pengguna gadget, menerapkan burn-in headset memungkinkan kita untuk memaksimalkan kualitas suara dari headset itu sendiri. Konon, sebuah headset yang masih baru ternyata belum memiliki kualitas suara yang maksimal, sebagaimana ketika benda itu dirancang di pabriknya. Intinya, headset itu semestinya dirancang untuk bekerja lebih baik daripada performa barunya. Dan untuk mencapai kualitas yang maksimal, seorang pengguna harus menerapkan burn pada headset bersangkutan.
Kita dapat mengambil mobil atau motor sebagai contoh, banyak yang percaya kalau kedua jenis kendaraan itu perlu melakukan running ketika masih dalam kondisi baru hingga mencapai sekian KM, baru selanjutnya mesin dari kendaraan itu akan lebih bertenaga. Benar atau tidak, kita serahkan saja kepada para mekanik.
Kalau pada headset, ‘running’ atau burn-in yang dimaksudkan ialah benda itu harus tetap dibiarkan mengeluarkan suara untuk waktu yang lama ketika masih berstatus baru. Ada yang menargetkan seratus hingga duaratus jam, ada yang bilang cukup duapuluh empat jam saja secara nonstop, dan ada yang bilang duapuluh empat jam itu boleh dicicil menjadi lima hari (tak harus nonstop).  Wah! Fakta atau mitos?!
Secara logika, untuk menyalakan headset dalam waktu yang lama, kondisi tersebut tentu menguras daya dari gadget yang difungsikan untuk memutar file audio. Ada yang menyarankan agar gadget bersangkutan sambil diisikan daya agar tidak mati, tetapi juga harus tetap menjaga agar gadget itu tidak sampai kelewat penuh dan berefek pada bengkaknya baterai. Hmm… Sebegitu pentingkah kualitas suara dari sebuah headset sampai seorang pengguna harus demikian ‘berkorban’?
Agaknya prinsip dari burn-in headset ini sebenarnya terlalu berlebihan, atau istilah kerennya ialah lebay. Tak dipungkiri kalau sejumlah headset yang masih baru memang belum memiliki kualitas suara yang maksimal, sebagaimana ketika benda itu dirancang di pabriknya. Tetapi perlu kita tekankan kalau ini hanya kita sebut “sejumlah”, bukan “semua”, dan bahkan kita dapat menyebutnya sebagai kasus yang jarang terjadi.
Gejala dari headset yang masih tidak bekerja secara optimal itu biasanya cukup kentara, seperti tersendat-sendatnya suara yang cukup teratur—misalkan setiap satu detik sekali, atau dua detik sekali. Kalau sudah mengalami pengalaman buruk demikian untuk sebuah benda baru, banyak dari kita tentu cemberut. Namun, bukan berarti kita harus menerapkan burn-in pada headset bersangkutan. Sama sekali tidak perlu!
Hal yang perlu dilakukan ialah pastikan headset itu bukan patah atau memang mengalami kerusakan secara fisik. Regangkan dan pastikan juga kalau kabel dari headset tidak terlipat, terlepas, atau membentuk simpul. Dan kalau memang tidak ada masalah, umumnya pemakaian secara normal selama beberapa menit sudah cukup untuk membuat headset itu mencapai kualitas yang maksimal. Ada saatnya masalah bisa kembali muncul ketika kita menggunakannya di lain waktu setelah sempat kita istirahatkan. Namun, setelah dua atau tiga hari pemakaian wajar, kondisi tidak akan berulang lagi.
Jadi, masalah gangguan kualitas pada headset yang masih baru adalah fakta. Tetapi diperlukannya aktivitas burn-in untuk mengatasinya adalah mitos yang konyol. Terlebih bagi sejumlah pengguna yang sebenarnya tidak mengalami masalah terhadap headset-nya, namun tetap menerapkan burn-in dengan harapan bisa memeroleh kualitas suara yang lebih baik lagi dari yang sebenarnya memang sudah baik-baik saja, sangat sia-sia belaka. Seandainya ada yang tetap mengklaim adanya peningkatan kualitas setelah burn-in, maka itu lebih pada pengaruh psikologis.
Lagipula, dewasa ini kualitas dari hiburan musik tidak sekadar dipengaruhi oleh headset, tetapi juga file, aplikasi, serta setting yang diterapkan. Ketika sebuah headset dengan merek top dipadu dengan file yang berkualitas rendah, jelas saja kualitas audio yang dihasilkan tidaklah memuaskan. Di sisi lain, kita juga mengenal sejumlah setting atau fitur seperti equalizer, Dolby, dan sejenisnya yang akan sangat berpengaruh pada kualitas audio yang dihasilkan.
Untuk pengalaman menikmati hiburan musik yang memuaskan, cukup sediakanlah headset yang berkualitas, file yang juga berkualitas, beserta aplikasi canggih dan setting yang tepat. Usah ‘membakar’ headset Anda!

Monday, September 7, 2015

Mengenali Fungsi Kabel OTG pada Android



Kita telah sering mendengar kabel USB atau kabel data. Tetapi, untuk kali ini, yang akan dibahas ialah kabel OTG (On The Go). Kabel OTG bukanlah hal baru, teknologi baru, atau sejenisnya. Hanya saja, mungkin karena fungsinya yang tidak umum atau wajib dibutuhkan—padahal banyak manfaat—kemudian juga oleh sebab tidak selalu support digunakan di setiap device, benda ini hanya diketahui oleh sejumlah pengguna gadget Android.

Bentuk kabel OTG sederhana saja. Dengan panjang belasan senti, satu ujung kabel memiliki kepala mini USB jenis male (untuk dicolok pada smartphone atau tablet Android), dan satu ujung lagi memiliki kepala USB standar jenis female. Ya, tentu Anda telah dapat menebak fungsinya dari deskripsi bentuk barusan. Melalui ujung dengan kepala USB stander jenis female, kabel ini memungkinkan kita untuk menghubungkan sejumlah benda dengan colokan USB pada gadget, seperti flashdisk, printer, mouse, atau stick PlayStation yang memiliki ujung colokan USB (stick yang biasanya digunakan untuk bermain game melalui PC).

Benar sekali! Dengan terhubungnya benda-benda yang disebutkan di atas melalui sambungan kabel OTG, maka Anda bisa saja mengatur file-file pada flashdisk—baik cut, copy, paste, atau delete dan read serta write—melalui file manager gadget, print foto langsung tanpa membutuhkan PC/laptop, bekerja dengan cursor mouse, hingga bermain sejumlah game yang memungkinkan penggunaan stick (contoh: memainkan game-game PlayStaytion X atau PSOne dengan emulator ePSXe).

Tentang harga dan di mana kabel OTG dapat dibeli, harganya hanya belasan sampai puluhan ribu, dan dapat ditemukan pada toko-toko yang menjual aksesori ponsel atau komputer. Namun, sekali lagi-lagi karena fungsinya yang tidak umum atau wajib dimiliki, tentu saja ada juga toko-toko aksesori ponsel/komputer yang tidak menjualnya. Solusinya ialah beli saja melalui sejumlah webstore ternama dengan sedikit tambahan ongkos kirim.

Namun, tunggu dulu! Tidak semua device support menerima sambungan kabel OTG dan ini sudah dijelaskan di paragraf pertama. Sebelum beli, cek terlebih dulu gadget Anda dengan masuk ke Settings > Storage, lalu gulir hingga paling bawa. Jika Anda menemukan menu Mount USB Storage (atau sejenisnya) yang sedang dalam kondisi redup, berarti gadget Anda support. Menu ini nantinya akan menyala dan menjadi Unmount USB Storage, apabila telah terhubung dengan sesuatu melalui kabel OTG. Apabila Anda sama sekali tidak menemukan menu bersangkutan, lupakanlah keinginan untuk membeli kabel OTG.

7 Sep 2015