Friday, May 24, 2013

Ketika Ajal di Depan Mata


Oleh: Lea Willsen
Judul tulisan ini begitu menyeramkan mungkin. Kebanyakan dari kita tentu takut berada dalam kondisi tersebut. Lantas, apa yang kemudian kita lakukan? Jelas secara batin kita tertekan, bahkan seketika kehilangan semangat hidup, dan menjadi lebih sering menjalani hari-hari—yang tak banyak lagi—dengan menangis atau murung. Tak ada yang salah dari sikap tersebut. Sangat manusiawi.
Mungkin kita akan berpikir tentang banyak hal yang masih tidak ikhlas kita lepaskan. Kita masih belum melakukan ini, belum melakukan itu, dan masih banyak target atau impian yang belum tercapai. Nah, kenyataannya ungkapan "tak ada yang mustahil dalam dunia ini" berlaku di sini. Ada saatnya kondisi titik terendah dalam hidup justru adalah motivasi terampuh untuk melakukan hal positif dalam hidup ini.
Kisah Anthony Burgess
Melakukan banyak hal dengan sisa waktu yang sedikit. Inilah yang telah dilakukan oleh Anthony Burgess, seorang pria kelahiran Inggris 25 Februari 1917 yang telah divonis dokter menderita penyakit tumor otak. Saat itu Burgess baru berusia 42 tahun, tetapi dokter mengungkapkan kalau maksimal sisa hidup Burgess tinggal satu tahun.
Keberadaan tumor otak itu bukan hanya mengancam hidup, tetapi biaya pengobatan yang diperlukan juga telah menguras banyak kekayaan Burgess, hingga pria itu benar-benar jatuh miskin. Satu hal yang Burgess risaukan adalah ia tak memiliki apa pun untuk diwariskan kepada isterinya. Namun, Burgess tidak berdiam diri menunggu ajal menjemput. Dalam kondisi terdesak itu terpikirkan ide kalau ia harus mulai menulis dan coba menjadi seorang novelis. Burgess merasa dirinya berpotensi untuk menjadi seorang penulis besar. Semangatnya bagai bara api yang takkan padam oleh siraman air. Bila novelnya populer, maka kelak royalti yang terus mengalir dapat menghidupi keluarganya, sekalipun ia telah meninggal.
Menurut perkiraan, Burgess hanya memiliki musim dingin, musim semi, serta musim panas untuk menjalani hidup. Dan pada musim gugur ajal akan datang menjemputnya. Ia lekas mulai menulis novel. Tahun itu menjadi tahun yang demikian menakjubkan. Ia berhasil merampungkan lima buah naskah novel, yang kemudian tiga di antaranya berhasil diterbitkan.
Satu hal yang menakjubkan lagi, Burgess ternyata tidak meninggal pada tahun itu! Tumor otaknya menghilang, dan ia tidak berhenti menulis begitu saja hingga kemudian berhasil melahirkan sekitar 70 buku, sebelum meninggal pada usia 76 tahun. Coba saja bayangkan, Burgess yang pada usia 42 tahun telah divonis hidupnya tak akan lama lagi ternyata masih dapat hidup sampai usia 76 tahun. Dan ini bukan sebuah drama fiksi!
Jika Burgess tidak dihadapkan pada ancaman ajal di depan mata, entah harus menunggu sampai kapan ia baru akan termotivasi untuk menggali potensi dirinya. Bahkan mungkin untuk selamanya ia tak akan pernah menjadi seorang novelis besar—seorang yang namanya mendunia. Inilah yang disebut motivasi ampuh di kala berada pada titik terendah kehidupan.
Memfoya-foyakan Sisa Hidup
Tak ada satu pun dari kita yang mutlak mengetahui kapan ajal kita tiba. Mungkin esok, mungkin lusa, atau kapan pun itu kita tak akan pernah tahu. Apalagi bila masih muda, usia dua puluh atau tiga puluh dan empat puluh tahunan, kita akan membayangkan kita masih akan tetap hidup hingga usia tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh atau bahkan sampai ratusan tahun. Ah, waktu masih panjaaang...! Sedikit berleha-leha itu manusiawi. Bukankah masa muda itu tak pernah kembali dan harus dinikmati dengan baik?!
Sah-sah saja menikmati masa muda—menikmati hidup—atau yang biasa disebut refreshing. Refreshing itu penting, ibarat mengistirahatkan atau menyegarkan kembali sebuah komputer yang sudah bekerja sepuluh jam lebih dan mulai mengalami bugs di mana-mana. Tetapi, harus dipahami juga kalau refreshing itu berbeda dari bermalas-malasan, dan tidak akan pernah dapat disamakan dengan alasan apa pun. Terlalu lama ‘refreshing’, justru akan membuat kita menjadi barang elektronik baru yang tak terpakai, disimpan selama bertahun-tahun, hingga termakan usia dan berakhir menjadi loak yang tak pernah sekali pun bermanfaat.
Agaknya kisah Anthony Burgess dapat mengingatkan kita bahwa betapa bermanfaatnya sisa hidup, sekalipun ajal sudah di depan mata. Bermalas-malasan itu identik dengan ‘memfoya-foyakan’ sisa hidup. Bisa jadi sepuluh tahun yang dimiliki seorang pemalas tidak lebih berharga daripada satu tahun yang dimiliki Burgess. Pepatah berbunyi; tak penting hidup berapa lama, tetapi lebih penting apa yang telah dikerjakan semasa hidup.
Fokus dengan Target
Dalam buku “Mimpi Sejuta Dolar”, Merry Riana menceritakan pengalaman berharganya dalam mengikuti seminar Anthony Robbins, di mana terdapat sebuah permainan lari menyeberangi kobaran api untuk mencapai tujuan. Sebuah permainan yang menantang tentunya. Dalam kehidupan kita juga sama. Api ibarat rintangan. Tujuan ialah target. Untuk mencapai target, sudah tentu kita harus berani dan fokus menyeberangi rintangan. Di samping itu, kehidupan tak pernah luput dari godaan. Godaan yang dimaksudkan adalah keinginan kita yang terus mengarah pada hal-hal menyenangkan—seperti berjam-jam chating, nonton film, bermain game online, atau mengunjungi tempat hiburan—daripada hal-hal yang menjanjikan.
Sukses mungkin bukan milik semua pekerja keras. Namun, tanpa bekerja keras dan fokus dengan target, sudah tentu sukses lebih tidak mungkin dimiliki. Tak ada pantangnya menganggap ajal sudah di depan mata—setahun lagi kita akan meninggal—maka kita pasti akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Setiap akan berpikir atau bertindak negatif, kita akan berpikir dua kali. Oh, waktu saya tidak banyak! Lebih baik saya memanfaatkannya untuk hal yang baik!
***
karen, awal Januari, 2013
http://myartdimension.blogspot.com

Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 9:02 PM

Entri Populer