Wednesday, February 20, 2013

Sang Penari Barongsai

Sang Penari Barongsai
Oleh: Lea Willsen
WANG kembali membuka album itu. Album berwarna merah yang berisi sejumlah foto-foto atraksi barongsai yang dimainkan oleh putranya itu menyimpan banyak kenangan. Banyak ingatan yang selalu kembali berdesak-desakan di pikiran pria paruh baya itu setiap kali ia mengamati foto-foto itu. Dulu ia kerap menitikkan airmata bila terkenang kembali tragedi kepergian putranya. Betapa tidak, orangtua mana yang ikhlas mengantarkan kepergian anaknya yang mendahuluinya?
Tetapi..., beberapa tahun terakhir Wang tak lagi menitikkan airmata. Mungkin, secara perlahan waktu yang terus bergulir telah menawarkan rasa sakit itu. Entahlah, terkadang Wang sendiri teramat tak setuju dengan ungkapan kalau waktu dapat perlahan menawarkan rasa sakit di hati. Oleh waktu yang telah berlalu belasan tahun, mungkin airmatanya memang telah mengering, tetapi bukan berarti rasa sakit di hatinya juga telah terobati. Sama sekali tidak!
Jika boleh memilih, Wang lebih ingin bila nyawanya yang pergi menggantikan nyawa putranya. Rimin masih terlalu muda untuk dipanggil oleh-Nya. Anak itu baru berusia dua puluh satu tahun. Ia adalah seorang anak yang berbakat. Di usia yang masih belia itu Rimin telah menjuarai sejumlah kompetisi barongsai, dan memeroleh banyak penghargaan. Bila anak itu masih tetap hidup, bukankah ia akan tetap mencatat prestasi dan membanggakan Wang?
Tubuh Rimin tidak terlalu besar. Tingginya seratus tujuh puluh dua senti. Tetapi ia memiliki otot yang kuat dan lincah. Ia adalah pemain yang memegang peran sebagai kepala barongsai. Selain harus melompat dengan beban kepala barongsai yang beratnya dapat mencapai tujuh belas kilo, ia juga harus pintar memainkan ekspresi si barongsai, seperti mengedipkan mata atau menggerakkan kuping dan rahangnya. Ia termasuk pemain yang menonjol dan dihargai oleh pelatih serta anggota lain dalam sanggar tari barongsai yang telah membesarkan namanya itu.
Semenjak duduk di bangku SD pun, Rimin telah menunjukkan ketertarikan besarnya terhadap seni dan tradisi barongsai. Wang paham betul keinginan putranya untuk menjadi seorang penari barongsai setelah dewasa. Sebagian orangtua suku Tionghoa mungkin kurang setuju bila anak-anak mereka berkecimpung di dunia seni yang kurang menjanjikan masa depan. Tetapi Wang tidak demikian. Ia tidak berharap banyak kalau kelak putra tunggalnya itu akan menjadi seorang pengusaha kaya ataupun bos besar. Ia hanya berharap Rimin dapat menjalani hidup dengan baik dan bahagia.
Di usia Rimin yang lima belas, Wang mendaftarkannya menjadi salah seorang murid dari sebuah sanggar tari barongsai ternama. Ia ingin Rimin memeroleh didikan yang tepat untuk mewujudkan impian menjadi seorang penari barongsai profesional, tidak sekadar ‘penari’ barongsai jalanan yang bermodalkan kostum barongsai dan sejumlah alat-alat musik seperti tambur, kenong, dan simbal untuk mengumpulkan angpao.
Apa yang Rimin pelajari dari sanggar tari itu tidaklah mudah. Anak itu harus berlatih selama satu setengah tahun terlebih dulu sebelum benar-benar diperbolehkan untuk tampil menghibur penonton. Mengikuti pola dasar, skenario tarian barongsai terbagi menjadi delapan sesi yang disebut; tidur, pembuka, bermain, pencarian, bertarung, makan, penutup, dan kembali pada tidur. Masing-masing sesi memiliki makna, teori, serta gerakan berbeda yang harus dipelajari. Namun itu bukanlah pola yang mutlak harus diikuti. Untuk menciptakan suatu kebaruan, ada kalanya Rimin bersama anggota harus menyusun sebuah skenario yang lebih variatif serta kreatif untuk disesuaikan dengan acara dan golongan penonton yang menyaksikan pertunjukan mereka.
Rimin cocok menjalani hidupnya sebagai seorang penari barongsai. Entah hanya kebetulan belaka atau memang genetik berpengaruh dalam segala pencapaian Rimin. Ayah Wang—akong Rimin—dulunya juga adalah seorang penari dan pendiri sebuah sanggar tari barongsai. Sanggar tari milik akong Rimin hanya bertahan selama beberapa tahun, dan oleh sebuah kebijakan di masa Orde Baru, sanggar itu terpaksa harus dibubarkan. Beberapa sanggar yang besar masih memeroleh kesempatan untuk tampil di lokasi-lokasi tertentu seperti kelenteng atau vihara pada acara-acara tertentu. Tetapi sanggar yang didirikan oleh akong Rimin hanyalah sebuah sanggar kecil yang anggotanya tidak lebih dari sepuluh orang. Alat-alat yang digunakan dalam pertunjukan semula masih disimpan rapi dalam sebuah gudang, kemudian termakan usia, dan berakhir dijual dengan harga loak.
Tidak hanya memiliki keterampilan yang sama, tetapi cara meninggal yang ditempuh oleh Rimin dan agong-nya juga sama, yakni kecelakan mobil di malam Imlek kedua. Peristiwa itu menimpa Rimin usai mempertunjukkan tari barongsai di luar kota. Malam hari pukul delapan lewat empat puluh lima menit, Wang menerima sebuah telepon yang mengabari kalau putranya telah meninggal sebelum dilarikan ke RS. Mobilnya jatuh ke jurang ketika dalam perjalanan pulang dari luar kota.
Famili dan kenalan yang kala itu mengetahui peristiwa itu mencoba mengaitkannya dengan kutukan atau ulah roh jahat. Mereka masih percaya kepada takhayul kalau barongsai itu adalah makhluk yang dapat membawa serta roh jahat di sekitar. Orang-orang yang menarikan barongsai dapat mengalami kesurupan atau dikendalikan roh jahat seperti tari kuda lumping. Mereka sama sekali tak mau percaya sekalipun Wang berusaha keras menjelaskan kalau barongsai adalah sebuah seni dan tradisi warisan leluhur. Rimin putranya memahami secara jelas, kalau barongsai yang dicintainya sepenuh hati tak semistik yang dikatakan orang-orang.
Wang lebih terima bila peristiwa yang menimpa Rimin adalah takdir, bukan sesuatu yang menjelek-jelekkan hobi putranya.
Sebuah foto dalam album yang berada di pangkuan Wang menunjukkan Rimin sedang berdiri tegap memeluk kostum barongsai di lengannya. Anak itu tersenyum bahagia. Tak kalah indah senyum kebanggaan di wajah Wang yang tepat berdiri di sebelahnya. Foto itu diambil ketika pertama kali Rimin memenangkan tari barongsai kelas nasional di usianya yang ketujuh belas. Bagaimana mungkin senyum bahagia itu dikaitkan dengan hal-hal mistik seperti dirasuki roh jahat? Yang Wang yakini hanyalah putranya adalah seorang penari barongsai berbakat, dan semua itu tercapai atas usaha keras, bukan pengaruh roh jahat.
“Permisi...! Permisi...!” suara seorang pria berteriak dari luar pagar.
Wang segera bangkit dari kursi goyangnya, dan meletakkan kembali album itu di atas rak. Ia mengernyitkan mata—sebelum keluar untuk membukakan pintu—memerhatikan baik-baik orang yang sedang memanggil pintu itu dari dalam. Orang tua itu masih selalu mengingat kondisi di masa lalu, di mana pada hari-hari Imlek sangat pantang sembarangan menyahut atau membukakan pintu, karena banyaknya aksi mengucapkan “kiong hie”—jika tak ingin disebut pungutan liar—yang ujung-ujungnya meminta diberikan angpao. Satu pintu rumah suku Tionghoa sehari bisa didatangi orang-orang demikian hingga lima atau enam kali.
“Oh! Ya, ya! Acek datang!” sahut Wang segera begitu berhasil mengenali orang yang sedang berdiri di luar. Pria itu adalah Ahmad, seorang anggota dari sanggar tari barongsai yang dulunya kerap berpasangan bersama Rimin—menjadi ekor barongsai—dalam berbagai pertunjukan serta kompetisi. Sejak dulu pria keturunan Jawa itu memiliki hubungan dekat dengan keluarga Wang. Dan selama belasan tahun ini ia masih tetap ingat untuk sesekali bertamu di rumah Wang—terlebih pada Hari Raya Imlek—meskipun sahabatnya telah meninggal.
Melihat Ahmad jugalah yang selalu meyakinkan Wang bahwa kepergian Rimin bukan disebabkan oleh roh jahat. Saat peristiwa itu terjadi, Ahmad berada dalam satu mobil bersama Rimin, dan juga tiga anggota penari barongsai lainnya. Menurut cerita Ahmad, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan karena si supir mengantuk.
Rimin menjadi satu-satunya orang yang meninggal, maka itu sudah takdirnya. Mungkin Tuhan telah begitu merindukan anak baik itu untuk segera berada di sisi-Nya. Pepatah berbunyi; seseorang yang baik itu tidak berumur panjang...
***
Akhir Desember, 2012
Cerpen muat di Rubrik Cerpen dan Puisi, Harian Analisa, Medan, 20-02-2013
Ilustrasi muat di Rubrik TRP, Harian Analisa, Medan, empat tahun lalu

Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 12:07 PM

Thursday, February 7, 2013

Imlek, antara Aku dan Mereka



Oleh: Liven R

MALAM Sabtu, jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB, aku segera berkemas meninggalkan ruang kerjaku. Di jalan, lalu lintas padat. Inilah Kota Medanku, tak pagi, siang atau malam, macet di mana-mana. Mungkinkah karena sebentar lagi Imlek tiba? Batinku.

Sampai di rumah, kulihat Mama sedang merangkai tangkai-tangkai bunga mei di hadapannya. Aku menerawang sekeliling dan langit-langit ruang tamu, aksesori Imlek dengan dominan warna merah terlihat di mana-mana. Ada ikan kertas di bawah lampu gantung; barongsai mainan di dekat jam dinding, sebuah tulisan ‘keberuntungan’ tertempel di dinding; dan banyak burung mainan menempel di gorden jendela ruang tamu.
Aku tersenyum sendiri. Ah, Mama memang selalu antusias dalam merias seisi rumah menjelang Imlek.
“Ma, gorden ini Mama pasang sendiri? Ikan dan stiker itu…?”
“Iya. Semua Mama pasang sendiri. Cantik, ‘kan?”
“Mengapa tak menunggu kami pulang membantumu, Ma?”
“Ah, tak perlu, aku bisa! Lihat! Sudah beres, ‘kan?” potong Mama cepat.
Sebenarnya aku tahu, meminta Mama menunggu kami pulang membantunya hanyalah kalimat klise yang tak pernah menjadi nyata setiap tahunnya. Ya, selain tak ingin melihat kami lelah, Mama tak begitu suka dibantu dalam bekerja. Semua tak sesuai seleranya. Jika sudah begitu, Mama tak segan melarang siapa pun menyentuh barang-barangnya.
Tahun lalu saja, abang ipar harus tersenyum pasrah tatkala menerima kritik dari Mama atas bantuannya memasang kuplet Tahun Baru di depan pintu. Ih, itu terlihat miring! Kalian empat orang membantu lihat, pun bisa lihat sampai miring…., begitulah ujar Mama kepada kami.
“Melvian, kamu tahu? Ikan itu pemberian Tante Ami,” ujar Mama dengan senyumnya.
“Ohh… Kalau stiker itu?”
“Itu Mama beli tempo hari. Bagus, ‘kan?”
“Kalau bunga mei ini setangkai berapa? Kuplet dan hiasan mercon ini beli di mana, Ma? Berapa harganya?” Aku menunjuk aksesori Imlek yang belum terpasang di atas meja.
Mama menatapku gemas. “Kamu tim KPK, ya? Mau tahu saja….”
            Kami tertawa lepas.
“Tunggu…!” Mama beranjak ke belakang dan kembali dengan sebuah kantung plastik besar. “Ini…,” lanjutnya lagi sambil menyodorkan bungkusan itu kepadaku.
“Apa ini?”
“Baju baru. Tadi Mama ke pasar dan memilihkan kalian masing-masing dua pasang.”
Aku mengeluarkan baju-baju itu. Ada empat pasang di dalamnya.
“Usah memilih. Sudah dipilih Cici (Kak) Jovian dan Cici Sepvian. Sisa yang dua itu punyamu….”
Aku mengerucutkan wajahku. Selalu begitu! Tapi, bukankah semua sudah dipilihkan oleh Mama sebagai yang tercantik di antara semua yang ada di lapak baju itu? Aku mengeluarkan jurus menghibur diri sendiri!
“Kamu pakai baju apa pun tetap cantik ‘kan?” hibur Mama.
Aku diam dan berpura-pura marah.
“Kecuali dengan muka mirip jeruk purut seperti ini…. Pakai baju apa pun jelek!” imbuh Mama lagi.
Aku tak bisa menahan senyum.
“Sudah punya berapa pasang baju baru?”
Aku mencoba mengingat-ingat. Baju yang kubeli sendiri…, ada juga pemberian Ci Jovian dan Ci Sepvian, hadiah ulang tahun dari Bibi Hua tempo hari, baju pilihan Paman Yuan saat dia berlibur ke Paris, dan…. Astaga! Tak habis kupakai hingga lewat malam Imlek ke limabelas sekalipun!
“Bagaimana? Sudah berlebih, ‘kan?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, ini Mama bawa saja untuk berbagi kasih ke panti asuhan lusa, ya?”
“Ah, Mama…! Keterlaluan nggak, sih? Sudah tak berhak memilih, sekarang malah…,” Aku memeluk erat kantung plastik hitam beserta isinya itu. “Barang yang sudah diberikan, tak boleh diminta kembali! Jika tidak….” Kalimat ultimatum kukibarkan ke udara.
Aku tahu Mama hanya bercanda. Namun, diam-diam aku tersenyum dan menyetujui ucapan Mama. Beberapa helai baju bekas layak pakai akan kupilihkan juga nanti.
***
Imlek hari pertama.
Pagi-pagi, kami sudah bangun. Mama segera menjerang air gula dan memasak onde-onde, kebiasaan yang selalu dilakukan kami di pagi hari Imlek, yang melambangkan keutuhan dalam segala hal, dan dilanjutkan dengan menikmati kue lapis legit yang melambangkan harapan akan meningkatnya segala usaha, kesehatan, dan kesuksesan seluruh anggota keluarga.
Telepon di ruang keluarga sebentar-sebentar berdering. SMS pun tak kalah ramai. Ucapan ‘gong xi fa cai’ menggema di dunia nyata maupun maya sebagai doa dan harapan akan tahun yang lebih baik lagi.
 “Tambah pintar, sehat selalu, ya,” ucap Mama saat memberiku angpao. Ah, ini ucapan yang sudah kudengar sejak aku duduk di bangku TK A. Hanya saja, dulu ucapan itu ditambah dengan ‘cepat besar dan jadi juara, ya’. Tapi, dengan atau tanpa kedua kata itu, aku tetap menyukai angpao pemberian Mama, terutama isinya! O ow!
Seusai sarapan, seperti kebiasaan kami bertahun-tahun, setelah paman, bibi, dan para sepupu tiba, dengan lima mobil keluarga besar kami segera berangkat bersama mengunjungi tujuh vihara yang tersebar di Kota Medan untuk mendoakan segala kebaikan untuk tahun yang baru ini.
“Ada kru Metro TV, Cici Mel…,” ucap Elin, putri Paman Yuan, demi melihat beberapa orang berpakaian lengkap atribut Metro TV, setibanya kami di vihara keempat, Vihara Borobudur.
“Boleh narsis, dong, jarang ada kesempatan masuk tivi, ‘kan?”
Elin tertawa dan kami berjalan menghindari sorotan kamera tim Metro TV yang sedang menyiarkan berita dari Vihara Borobudur.
“Selanjutnya vihara kelima, Setia Budi di Jalan Irian Barat, ya?” komando Nicco, putra tertua Paman Huang kepada kami semua sebelum kembali ke mobil masing-masing.
Memasuki ruas Jalan Irian Barat, lalu lintas terlihat padat. Mobil berjalan merayap mendekati pintu masuk vihara.
Di bahu jalan, di depan bangunan vihara, para penjual bunga menggelar lapak dagangannya. Seorang kakek tua berpakaian sederhana mendekati mobil kami, menawarkan dupa, lilin, dan kertas sembahyang yang digulung menjadi satu paket.
Mama mengangkat tangannya mengisyaratkan ‘tidak’.
Kutatap lama kakek itu hingga mobil melaju meninggalkannya di belakang. Kini, seorang gadis belia turun dari trotoar dan berlari ke arah mobil kami diikuti tiga remaja laki-laki berusia sekitar limabelas tahun. Masing-masing dari mereka berebut menawarkan paket-paket sembahyang yang sama kepada kami dan juga mobil lainnya.
Aku tertegun melihat pemandangan itu. Mereka sama denganku. Kami sama-sama sedang merayakan Tahun Baru Imlek, tapi mereka….
“Lima belas ribu saja, Ci…,” teriak gadis itu sambil menempelkan dagangannya di balik jendela mobil dan terus berlari-lari kecil mengikuti laju mobil. Aku terdiam, namun batinku sibuk berbicara. Ada rasa tak tenang mendadak muncul. Aku tak dapat membantunya dengan membeli dagangannya, sebab meski beragama Buddha, kami sekeluarga menghindari membakar apa pun yang dapat mencemari Bumi. Untuk kami hanya ada penghormatan tertinggi dengan merangkupkan tangan saja saat berdoa.
Karena padatnya umat yang berkunjung, akhirnya kami hanya kebagian tempat parkir di luar area vihara.
Hanya sebentar di dalam Vihara Setia Budi, aku harus keluar karena tak tahan dengan asap dupa yang membuat mataku pedih dan dadaku sesak.
Di dalam mobil aku menunggu anggota lain selesai berdoa. Aku terus memandang para penjaja dupa dan alat sembahyang yang berlarian di tengah-tengah jalanan yang padat itu. Tak ada baju baru melekat di tubuh mereka. Keringat bercucuran di sekujur tubuh. Menantang bahaya demi mendapatkan sedikit keuntungan untuk ditukar makanan, begitulah realita yang sedang berlangsung di depan mataku.
Bertahun-tahun lalu, aku juga pernah merasakan Imlek tanpa baju baru. Saat itu, aku seusia gadis belia tadi. Kala itu, aku tak punya baju baru karena Papa baru saja meninggal. Jangankan baju baru, untuk makan selanjutnya saja akan menjadi masalah jika kami tak irit dalam mengelola warisan Papa yang tak banyak itu. Dan, masa lalu itu selalu lengket di benakku dan membuatku lebih memahami arti penderitaan orang lain, terlebih tentang kehidupan yang selalu berubah.
Hidup ini memang tak mudah, tapi selalu ada hikmah yang mengajarkan kita untuk peduli kepada siapa pun selagi sanggup. Bekerja keras untuk kehidupan, kami sama-sama melakoninya, tapi aku mungkin lebih beruntung, kerja kerasku hampir selalu mendapatkan apresiasi tinggi dari atasanku dan memberi hasil ‘cukup’ bagiku.
Aku mengeluarkan sepuluh buah angpao dari dompetku. Sesaat, aku turun dan menghampiri anak-anak itu….
“Mel, kelihatannya gembira sekali, ada apa?” tanya Mama sekembalinya ke mobil.
“Ah, tidak ada…,” jawabku singkat. “Cemara Asri?”
Mama mengangguk. Kami melanjutkan perjalanan menuju vihara keenam dan ketujuh di Cemara Asri.
Aku akan berdoa untuk kalian semua…!
*Gong xi fa cai kepada teman-teman pembaca yang merayakan!

*Medan, Harian Analisa (TRP) 3 Februari 2013
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 9:24 PM

Sunday, February 3, 2013

Katakan Tidak pada Petasan dan Kembang Api!




SEBERAPA seringkah terdengar oleh kita suara petasan atau kembang api yang keras dalam kurun waktu setahun? Jawabannya adalah sering! Hampir pada setiap perayaan-perayaan hari besar, suara bedebam-bedebum itu terdengar di berbagai kota dan lokasi yang memiliki penduduk yang merayakannya. Salah satunya adalah Hari Raya Imlek, di mana pada hari pertama dan juga hari kesempilan biasanya warga yang merayakan Imlek akan menjadikan petasan sebagai sebuah permainan untuk memeriahkan suasana malam.
Tak dapat dipungkiri, permainan petasan itu begitu mengesankan, terlebih bagi anak-anak. Bisa dikatakan hingga kini pun permainan itu tak dapat tergantikan oleh permainan-permainan modern, seperti video game dan sejenis lainnya. Yang memainkan petasan ternyata juga bukan hanya anak-anak, tetapi bahkan orang dewasa sekalipun! Dan ini ironis. Katakanlah anak-anak masih tak kenal bahaya, tetapi orangtua yang semestinya memberi bimbingan serta contoh baik justru juga ikut-ikutan bermain petasan. Padahal, dari zaman Belanda pun—tahun 1940—petasan dan kembang api telah menjadi sebuah permainan yang dilarang. Satu kata yang menjadi alasan kuat kalau petasan itu dilarang tak lain adalah; bahaya!
Jangan ada seseorang yang mengatakan tak tahu kalau petasan itu berbahaya. Kita semua pastinya telah tahu, atau minimal pernah mendengarnya dari orang lain. Petasan dan kembang api itu identik dengan api. Bunyi pepatah; janganlah bermain api. Makna yang terkandung dari pepatah ini adalah agar kita tetap ingat untuk tidak mencoba atau melakukan hal-hal yang berbahaya. Di sini api ditempatkan sebagai objek yang berbahaya. Kenyataannya, ketika sedang bermain petasan dan kembang api, tanpa sadar kita telah menjadikan bahaya sebagai sebuah permainan.
Bahaya petasan dan kembang api
Kita boleh tak percaya atau tak takut kalau petasan dan kembang api itu berbahaya. Kenyataannya telah dijumpai berbagai kasus kalau permainan petasan itu merugikan kesehatan, mengancam keselamatan, bahkan dapat merenggut nyawa!
Data untuk tahun 2009, tercatat 116 kasus luka bakar akibat permainan petasan di Indiana. Hampir satu dari enam penderita mengalami cedera mata, dan setengahnya adalah anak-anak. Kasus lain menimpa seorang bocah berusia 11 tahun dari dalam negeri. Empat jari tangan kirinya hilang akibat petasan yang dibelikan oleh sang ayah meledak di tangan. Selain itu, pada acara menyambut Tahun Baru 2012 lalu, di Italia tercatat kasus 561 orang yang terluka akibat permainan kembang api, dan juga 2 orang yang meninggal dunia. Dari jumlah 561 orang yang terluka, 76 di antaranya adalah anak di bawah 12 tahun.
Tak kalah heboh dengan kasus di Filipina yang pernah diberitakan washingtonpost.com, 739 orang terluka pada malam perayaan Tahun Baru, 712 di antaranya—lagi-lagi—akibat bermain petasan.
Cerita berikutnya datang dari masa kanak-kanak penulis sendiri. Jelang malam pergantian Tahun Baru Imlek, bibi penulis tak pernah lupa membelikan sebungkus kembang api dengan kota bergambar Power Rangers untuk dimainkan pada malam pergantian tahun nanti. Maksud hati menyayangi dan ingin menyenangkan hati penulis kala itu, siapa sangka ternyata percikan dari kembang api itu justru mendarat di kepala penulis, dan satunya di kaki. Percikan berupa partikel keras itu tertanam di dalam daging lumayan dalam, dan menimbulkan rasa yang teramat sakit ketika harus dikeluarkan. Sejak saat itu tak pernah ada lagi acara kembang api segala. Dan itu bagus, daripada timbul lagi masalah yang lebih besar.
Bahan berbahaya dalam kembang api
Pernah terpikirkankah oleh Anda, mengapa kembang api itu dapat demikian indah dan menghasilkan warna biru, hijau, merah, dan lainnya? Di balik keindahan kembang api, terdapat banyak bahan berbahaya dan bahan bersifat kimiawi yang beracun.
Atom dijadikan bahan paling umum untuk menciptakan warna-warni indah kembang api. Merah crimson didapat dari stronsium, merah kekuningan dari kalsium, hijau kekuningan dari barium, hijau terang dari lithium, hijau zamrud dari tembaga, hijau rumput dari tellurium, hijau kebiruan dari thallium, hijau keputihan dari seng, biru muda dari arsenikum, timbal, atau selenium, sementara ungu dari cesium, dan masih banyak lagi variasi warna dengan bahan lainnya.
Dengan kandungan-kandungan yang disebutkan di atas, tentu kembang api sangat berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan, apalagi yang secara langsung berada dalam jarak dekat. Senyawa-senyawa tembaga yang dipakai untuk menghasilkan warna biru akan  menghasilkan dioxin yang dapat memicu kanker. Kembang api yang meledak di atas langit tidak lantas melenyapkan bahan-bahan berbahaya itu, tetapi akan terjatuh kembali ke Bumi sebagai limbah yang mencemari lingkungan hidup sekitar kita.
Untuk kebaikan bersama
Sebagai segmen penutup dari tulisan ini, marilah coba bersama kita renungkan, sebenarnya lebih banyak untung atau rugi yang diperoleh dari permainan petasan dan kembang api? Kalaupun kita dapat mengabaikan keselamatan diri sendiri, kita juga masih harus bertanggung jawab atas keselamatan orang lain. Selain berbahaya untuk manusia dan lingkungan, secara tidak langsung suara ledakan petasan dan kembang api juga sangat mengganggu. Kita dapat beranggapan kalau hari besar itu adalah hari di mana setiap orang memiliki hak untuk merayakannya, tetapi  bagaimana bila ternyata suara itu telah membangunkan seorang jompo berusia tujuh puluh tahunan yang semestinya teramat membutuhkan tidur yang berkualitas?
Marilah rayakan Imlek dengan kegiatan yang bermutu. Katakan tidak pada petasan dan kembang api!
***
Penulis: Lea Willsen
Awal Januari, 2013
http://myartdimension.blogspot.com
Muat: Rubrik TRP, Harian Analisa, Medan-Sumut, 03-02-1013
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 2:47 PM

Entri Populer