Friday, January 21, 2011

Penderitaan Pendengar Curhat



Dengan curhat, mungkin benar, terkadang hati seseorang akan menjadi sedikit lega, atau setidaknya merasa telah berhasil melampiaskannya dengan cara mengubah beban di hati menjadi rangkaian kalimat-kalimat untuk didengarkan si 'korban'. Namun sadarkah? Sesungguhnya kata "curhat" hanyalah sebuah istilah halus dari kegiatan berkeluh-kesah terhadap seseorang.

Mendengar curhat (keluh-kesah) seseorang bukanlah hal mudah. Selain kita harus memberikan waktu kita, kita juga dituntut bersikap sabar, mampu menghibur, atau memberi solusi. Dan bagaimana bila setelah semua pengorbanan itu kita berikan, masalah si 'pasien' masih tak kunjung selesai, dan malah semakin bertambah rumit?

Beda cerita bila kita adalah psikolog profesional yang memang mencari nafkah dari kegiatan mendengar curhat seseorang, namun kini kita hanya seorang biasa, yang tentunya juga memiliki rutinitas, beban pikiran tersendiri. Ya, praktis, mungkin segera setelah 'over dosis' mendengar curhatan orang lain, kitalah yang malah menjadi seorang yang stress atau depresi berat, serta butuh jasa seorang psikolog. Ini tidak mengada-ada.

Mendengar curhat tidaklah sama dengan mendengar gosip. Bila mendengar gosip, mungkin kita masih dapat menertawakan seseorang yang tengah digosipkan. Namun bila mendengar curhat, cenderung yang diceritakan adalah masalah lara, yang seolah membuat kita mau tak mau harus turut 'terseret' dalam perasaan orang yang tengah curhat dengan kita.

Pedahal, setiap individu, bahkan orang yang paling dekat sekali pun, tetap memiliki batas kemampuan untuk mendengar keluh-kesah seseorang. Maka dari itu, bila kita yang tengah berada pada posisi membutuhkan teman curhat, alangkah baiknya bila kita mampu menentukan batasan-batasan tertentu, agar jangan sampai curhatan kita menjadi penderitaan si pendengar.

Sekiranya pendengar curhat adalah malaikat, mungkin sedari awal ia sudah menghilangkan semua kesengsaraan kita dengan kemampuan saktinya. Dan bila pendengar curhat adalah orang yang benar-benar mengasihi kita, bila memungkinkan, ia juga ingin berganti posisi dengan kita. Tapi nyatanya ia hanya manusia biasa, ia mendengar, prihatin, bersedih, ingin membantu, tapi apa daya hanya sebatas menghibur atau memberi masukan yang ia mampu. Ironis...!


Lea Willsen, 2011
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 11:40 AM

Roh Dua Pejabat di Akhirat

Malam itu, akhirat menerima dua roh pria pendatang baru yang semasa hidupnya, keduanya adalah pejabat besar di sebuah negara. Di hadapan mereka, sesosok malaikat agung memvonis bahwa antara kedua pejabat tersebut, satu akan menuju surga, dan satunya lagi menuju neraka.

Merasa tak puas, roh yang hendak dikirim ke neraka pun memprotes, "Mana bisa begitu! Semasa hidup saya adalah orang beragama! Pernah pula membangun sebuah jembatan dengan uang sendiri untuk warga sebuah desa. Sedangkan dia,'' ia menunjuk ke arah roh yang satu lagi, "...dia manusia tak beragama! Tak pernah pula membangun jembatan! Dia yang pantas ke neraka!"

Roh yang satunya lagi pun bergegas membela diri, "Ampun, ampun... Tolong jangan kirim aku ke neraka..."

Malaikat pun tersenyum, dan berkata kepada roh yang hendak dikirim ke neraka, "Kau orang beragama, tapi kelihatannya kau tak takut dosa. Kau tahu mana yang salah mana yang betul, tapi kau tetap berbuat salah juga. Dan itu membuat dosamu menjadi berlipat ganda. Kau membangun jembatan untuk warga sebuah desa, tapi kau mengorupsi dana pemerintah yang seharusnya akan digunakan untuk memperbaiki tanggul di lima desa. Akibat perbuatan picikmu, ketika musim hujan tiba, tanggul di kelima desa tersebut jebol dan memakan banyak korban jiwa dari kelima desa tersebut. Sedangkan roh di sebelahmu...," malaikat melirik ke arah roh yang satu lagi, "...dia tak memiliki agama, tak membangun jembatan dengan uang sendiri, tapi menjalankan tugas dari pemerintah dengan jujur, untuk memperbaiki jembatan di sepuluh desa, tanpa menggelapkan uang titipan pemerintah tersebut sepersen pun. Dengan memfokuskan diri agar tak melakukan kesalahan, ia telah termasuk berbuat baik."

Mendengar penjelasan panjang lebar dari sang malaikat agung, roh yang tadinya dengan lantang berani memprotes pun terdiam.






2L, 2011
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 10:59 AM

Monday, January 3, 2011

Serigala dan Kancil; Orang yang Suka Mencari Kesalahan Orang Lain


Alkisah, di sebelah selatan negeri Antah Berantah terdapat sebuah hutan yang rimbun tempat tinggal berbagai satwa liar. Di sebelah timur hutan mengalir sebuah sungai yang berair jernih sepanjang tahun. Di sungai itu jugalah para penghuni hutan biasanya minum dan berendam di musim panas.

Suatu hari, kancil berlari dengan gembira di sepanjang sisi sungai dan kemudian berhenti untuk minum di salah satu sisi sungai. Dari kejauhan, seekor serigala yang sedang lapar memandang kancil dengan air liurnya yang menetes. ‘Aku akan mendapatkan santapan yang empuk hari ini. Betapa beruntungnya aku!’, demikian pikir serigala

Perlahan-lahan serigala pun berjalan mendekati kancil dengan kuku cakarnya yang siap menerkam. Akan tetapi, sebelum mencapai tempat kancil berdiri, serigala kembali berpikir, ‘Jika aku langsung menerkam kancil, bukankah akan terasa kurang etis? Sebaiknya aku mencari sebuah alasan agar tak dibilang kurang etis.’.

Demikianlah serigala yang sok manusiawi (eh, hewani maksud saya) itu pun mengurungkan niatnya untuk langsung menerkam kancil. Sebaliknya, dia berdiri di samping kancil.

“Hai, Tuan Serigala, sedang minum juga, ya?” Kancil menyapa dengan ramah.

“Umm..., ya,” ujar serigala sambil berpura-pura minum. “Oh, lihatlah! Bagaimana aku bisa meminum air yang begitu kotor ini? Dasar kancil kurang ajar, kau telah mengotori air minumku! Kau harus bertanggung jawab!” ucap serigala sambil bersiap-siap menerkam kancil.

“Oh, tunggu! Tunggu, Tuan Serigala! Bagaimana aku bisa mengotori air minummu, sementara Anda berdiri di hulu dan saya di hilir?”

“Benarkah? Oh ya, tahun lalu kau juga pernah mengotori air minumku. Saat itu kau di hulu dan aku di hilir. Sekarang kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu tahun lalu!” Serigala kembali bersiap-siap hendak menerkam kancil.

Kancil segera mundur dua langkah. “Sabar, Tuan Serigala! Anda salah hewan. Tahun lalu aku belum lahir. Aku sekarang baru berumur dua bulan...”

“Arggh...! Jika demikian, itu pasti ayahmu! Tak peduli itu kamu atau ayahmu, pokoknya kamu harus bertanggung jawab hari ini...!” Selesai berucap, serigala segera menyerang kancil tanpa memberi kancil kesempatan membela diri.

***

Saudara-saudari dan teman-temin, pernah bertemu orang seperti cerita di atas? Pernah disuruh bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak kita perbuat? Coba beri perumpamaan lain atas orang seperti itu, please?

Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 4:43 PM

Entri Populer