Sunday, November 28, 2010

Kenangan di Ujung Waktu



Oleh: Liven R
LILY Rochil, gadis kecil bermata bulat dengan rambut panjang tergerai, hari ini tak masuk lagi. Sudah tiga hari terhitung semenjak libur Natal dan Tahun Baru usai, dia tak mengikuti kelas bimbinganku. Ada apa gerangan? Batinku sibuk menerka. Tak biasanya dia tak masuk tanpa pemberitahuan.
“Boleh saya berbicara dengan Melvin Rochil?” ucapku kepada Miss Lini, guru pembimbing di kelas sebelah.
“Wah, sudah tiga hari Melvin tak masuk,” balas Miss Lini.
“Oh, ya? Aneh sekali...,” ucapku setengah berbisik.
“Ada apa Miss Vania?” Miss Lini memandangku dengan kening berkerut.
“Ah, tidak! Aku hanya berniat bertanya kepada Melvin, mengapa sudah tiga hari adiknya, Lily, tak masuk kelas bimbinganku,” jelasku kepada Miss Lini.
“Oh, biasa, kan, Miss? Mungkin masih berlibur dan belum pulang. Banyak juga murid di kelasku yang belum masuk, tuh,” ucap Miss Lini sambil menunjuk dengan dagunya ke arah tempat duduk anak-anak.
Aku tersenyum, “Ya, mungkin juga. Baiklah, terima kasih, ya?!” Bergegas aku kembali ke ruanganku dan melanjutkan kegiatanku mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak usia 9-10 tahun.
***
‘PESAN terkirim’, kutatap sebaris teks pada layar ponselku. Sudah seminggu Lily tak masuk, begitu juga dengan Melvin.
Pagi ini aku tak dapat menahan diri untuk bertanya kepada Melvin melalui SMS perihal tak masuknya mereka selama seminggu ini.
Satu jam, dua jam, dan hingga siang menjelang, tak ada balasan. Aku tak pernah membiarkan anak didikku membolos tanpa alasan jelas. Mungkinkah mereka sudah tak berniat mengikuti kelas bimbingan di sini lagi? Ah, entah mengapa firasatku mengatakan mereka tak masuk bukan karena alasan itu.
Sudah tiga tahun mereka mengikuti bimbingan di sini. Ya, tiga tahun meskipun tak termasuk lama, juga tak dapat dikatakan singkat. Selama ini, Lily adalah anak yang penurut dan seorang gadis kecil yang periang. Di sela-sela waktu bubaran kelas, Lily kerap bercerita banyak hal kepadaku sambil menunggu mobil jemputannya. Sifatnya yang satu ini tentu saja bertentangan dengan sifat abangnya, Melvin, yang cenderung pendiam dan hanya menjawab bila ditanya.
Aku segera mengangkat telepon. Aku akan bertanya langsung kepada orangtua mereka, batinku.
“Bisa berbicara dengan mama Melvin dan Lily?” tanyaku pada suara di seberang telepon setelah mengucapkan salam.
“Ibu sedang ke bandara menjemput Bapak dan anak-anak,” jawab perempuan itu.
“Ke bandara?”
“Ya, hari ini Bapak dan anak-anak akan pulang dari Singapura.”
Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun perempuan yang mengaku pembantu di keluarga Lily mengatakan dia tak banyak tahu. Aku hanya berpesan agar Lily dan Melvin segera masuk kelas bimbingan nanti agar tak ketinggalan pelajaran.
***
TOK tok tok!
Aku menoleh ke arah pintu dan kulihat Melvin berdiri di sana. Aku segera beranjak ke tempatnya.
“Miss, Miss Lini mengatakan Miss Vania mencariku?”
Aku mengangguk. “Lily mana?”
Melvin tak menjawab dan hanya menunduk.
“Melvin... Lily mana? Kok, tak masuk lagi?” kuulangi pertanyaanku. “Seminggu ini kalian ke mana saja?”
“Lily sakit.” Melvin akhirnya menjawab dengan suara pelan. “Kemarin aku menemani Papa membawa Lily ke Singapura berobat.” Kali ini Melvin memandangku.
“Apa? Lily sakit?”
Melvin mengangguk. Mendadak perasaanku tak enak. Jika bukan penyakit yang berat, tak mungkin harus berobat hingga ke Singapura, batinku.
“Sakit apa?”
“Aku kurang tahu, Miss. Kata Papa gagal ginjal...” Wajah Melvin berubah sendu. “...sebelum berangkat ke Singapura, Lily tak sadarkan diri,” lanjut Melvin lagi.
“Tapi sekarang keadaannya sudah membaik, ’kan?” Aku tak dapat menyembunyikan rasa cemas yang tiba-tiba menggerogoti pikiranku. “Apa sekarang dia sudah sadar?”
“Ya,” Melvin menjawab pelan. “Miss, Papa menyuruhku meminta izin kepada Miss Vania untuk Lily. Setelah Lily cukup sehat dan kuat, dia akan kembali belajar di sini,” lanjut Melvin lagi.
“Ya, katakan pada Papa, Miss paham. Biarkan Lily beristirahat dulu sampai benar-benar pulih...”
Melvin mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia kembali ke kelas sebelah.
Pembicaraan tentang Lily tak henti mengusik pikiranku seharian itu. Aku tak habis pikir, bagaimana seorang gadis kecil yang baru berusia 9 tahun bisa mengalami gagal ginjal. Aku akan menjenguknya besok.
***
“LILY, sedang bermain apa?” sapaku ketika kulihat Lily duduk sendirian di atas sofa di sudut ruang tamunya sambil memeluk boneka Teddy Bear.
“Miss Vania...,” sapanya pelan. Aku segera mengambil duduk di sampingnya. Setelah menyuguhkan secangkir teh, mama Lily meminta izin untuk ke bawah meneruskan kesibukannya. Rumah mereka memang merangkap restoran yang hampir setiap hari ramai dikunjungi tamu yang hendak makan atau sekadar membeli untuk dibawa pulang.
Tinggallah kami bertiga di atas, aku, Lily, dan Melvin. Kupandangi wajah Lily yang kini terlihat pucat. Matanya tak tampak bersinar seperti biasanya. Kulihat wajahnya terlihat agak tembem, namun kusadari itu bukan karena Lily agak gemukan sekarang, tapi telah terjadi pembekakan pada beberapa bagian tubuhnya. Hatiku sedih melihat kondisi Lily.
“Lily, sudah makan?” tanyaku kemudian.
Lily mengangguk. Beberapa saat kemudian Lily bangkit dari duduknya dan mengatakan dia ingin tidur. Setelah mengantarnya ke kamar, aku pun pulang.
***
DUA bulan berlalu.
Setiap Sabtu aku selalu menyempatkan diri menjenguk Lily. Meskipun Lily kini berubah menjadi seorang anak yang pendiam, namun aku selalu mengajaknya berbicara pada setiap pertemuan kami agar dia dapat melupakan penyakitnya.
Tok tok tok! Terdengar suara pintu diketuk. Terlihat seorang satpam dan seorang pria berdiri di depan kelasku. Segera aku beranjak ke arah pintu dan mengenali pria itu sebagai papa Lily dan Melvin.
“Bu Vania, Bapak ini hendak mencari Melvin,” ucap Pak Satpam menjelaskan.
“Oh, Melvin bukan di kelasku, tapi di kelas sebelah,” ucapku sambil menunjuk ke arah kelas Miss Lini.
Dengan tergesa-gesa papa Lily pun berjalan ke ruang yang kutunjuk. Sesaat kemudian, dengan setengah berlari, Melvin dan papanya terlihat meninggalkan tempat bimbel.
Jam bubaran kelas masih satu jam lagi, akan tetapi Melvin sudah dijemput papanya dan pulang dengan tergesa-gesa. Ada apa ini? Mungkinkah Lily...? Ah, aku tak ingin berpikir yang tidak-tidak!
***
‘LILY koma, Miss. Sehabis menjalani proses pencucian darah, dia tak sadarkan diri. Sekarang ada di ruang ICU,’ demikian bunyi SMS pada layar ponselku, balasan dari Melvin yang kuterima setelah kutanyakan padanya apa yang telah terjadi.
Deg! Jantungku serasa berhenti ketika membaca SMS itu. Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Lily? Aku terus berdoa dan berharap Tuhan mendengarkan doaku dan membantu Lily melewati masa kritisnya.
Malam itu entah mengapa aku tak dapat memejamkan mataku. Segala kebersamaan dengan Lily terus berkelebat dalam ingatanku. Tak terasa airmataku mengalir mengingat semua itu.
***
SIANG itu usai bubaran kelas, aku sengaja menemui Melvin untuk menanyakan kabar Lily. Darinya aku tahu Lily sudah sadar dan telah dipindahkan ke ruang perawatan biasa.
Pukul 7 malam, aku ke rumah sakit untuk menjenguk Lily.
“Miss, kebetulan sekali. Maukah Miss menemani Lily sebentar? Aku akan pulang untuk mandi,” ucap Mama Lily sesaat setelah aku tiba.
Setelah kusanggupi, mama Lily pun pulang.
“Miss, aku ingin jalan-jalan keluar. Maukah Miss membawaku dengan itu?” tanya Lily sambil menunjuk ke arah sebuah kursi roda berukuran kecil di sudut kamar.
“Tapi udara di luar sangat dingin. Dokter akan marah jika Lily masuk angin nanti,” ucapku berusaha membujuknya.
“Aku, kan, memakai dua lapis baju dan jaket ini...,” rengeknya lagi.
Kulihat binar penuh harap pada wajahnya. Sudah lama aku tak melihatnya begitu bersemangat. Aku sungguh tak tega menolak permintaannya.
“Hanya sebentar, ya?!” ucapku ketika membantunya duduk di atas kursi roda. Lily mengangguk dan tersenyum.
Perlahan aku mendorongnya menyusuri koridor rumah sakit dan tiba di taman belakang rumah sakit.
“Apakah besok Miss akan datang lagi?” tanya Lily.
Aku mengangguk. Setiap Sabtu aku memang selalu datang ke sini.
“Tadi aku berpesan agar Mama membawakan tas sekolah dan buku-buku pelajaranku. Maukah Miss mengajariku besok?”
“Ehmm... Boleh! Dengan syarat tak boleh terlalu lama, ya?!”
Lily mengangguk dan mengangkat jari kelingkingnya. “Deal!” ucapnya setelah kukaitkan jari kelingkingku tanda perjanjian disepakati.
Malam itu aku pulang dengan gembira. Kondisi Lily telah menunjukkan tanda-tanda kebaikan. Aku akan datang lagi besok pagi dengan membawakannya boneka Teddy Bear seperti yang sudah kujanjikan padanya tadi.
***
SABTU pagi.
Setelah membeli sebuah Teddy Bear berukuran sedang, aku pun meluncur ke rumah sakit.
Sesampainya di sana, aku segera menuju ruang perawatan Lily. B 23, itulah ruang perawatan Lily. Di ruangan itu kulihat dua perawat sedang mengganti sprei. Tak terlihat Lily di sana.
“Sus, Lily pindah kamar, ya?” tanyaku.
“Oh, Lily sudah dipindahkan ke rumah duka BD. Lily mengalami sesak nafas dan menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 2 dini hari tadi.”
Mendengar ucapan perawat, pikiranku mendadak kacau. Aku tak lagi mendengar apa yang diucapkan perawat itu selanjutnya. Segera kutinggalkan rumah sakit.
15 menit kemudian.
Memasuki blok tempat jenazah Lily disemayamkan, kulihat mama Lily menangis di samping peti jenazah Lily. Kulihat foto Lily yang sedang tersenyum terletak di atas peti jenazahnya. Nama ‘Lily Rochil’ tertulis di bawah foto itu dan terlihat tumpukan boneka di sampingnya. Aku teringat boneka Teddy Bear yang kubeli tadi. Aku segera kembali ke mobil dan mengeluarkan boneka itu.
Kuserahkan boneka itu ke tangan papa Melvin yang kemudian diletakkannya di atas peti jenazah Lily, berdampingan dengan boneka lainnya.
“Lily, Miss Vania datang menjengukmu. Lihat! Bonekanya sangat cantik... Bukankah hari ini Lily mau belajar dibimbing Miss Vania? Lalu mengapa pergi?” ucap mama Lily di antara isak tangisnya.
Aku sungguh tak kuat berada di sana. Setelah pamit, aku segera berlari dan kembali ke mobil. Kuhidupkan mesin mobil. Belum sempat mobil kujalankan, pertahananku runtuh. Airmata yang susah payah kutahan sejak tadi akhirnya pecah. Di atas stir mobil airmataku tumpah.
‘Tuhan, ini adalah kehendak-Mu. Betapa pun kami hanya menjalankan semua yang telah Engkau gariskan. Jika Engkau tak mengizinkan Lily bersama kami lebih lama lagi, kumohon bawalah dia di sisi-Mu. Jagalah dia...’
Kuedarkan pandanganku ke arah ruang persemayaman.
‘Lily, kehidupan ini sungguh kejam untukmu... kini kau telah bebas dari segala penderitaan yang menyiksa. Pergilah dengan tenang. Tuhan akan membawamu bersama-Nya. Kami akan hidup dengan kenangan terindah darimu...’
Perlahan kujalankan mobil meninggalkan rumah duka. Aku sudah bertekad besok tak akan menghadiri pemakaman Lily. Aku tak sanggup.
***
Mengenangmu di Suatu Masa, Akhir November 2010
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 11:04 AM

Karir VS Cinta


Sering orangtua meminta anak mereka mengejar kesuksesan terlebih dahulu, setelah kesuksesan berada di genggaman, baru kemudian mengejar cinta. Namun perlu direnungkan, kendati kesuksesan adalah hak setiap individu, tetapi bukan berarti kesuksesan dapat dimiliki oleh setiap individu. Dan bagaimana bila hingga tua kesuksesan tatap belum dapat diraih? Apakah cinta juga harus selamanya ditunda?

Orang-orang sukses bukanlah melepas cinta untuk mengejar kesuksesan, tetapi melepas cinta untuk mempertahankan kesuksesan yang memang telah berada pada genggaman. Oleh karena itu, janganlah sia-sia mengorbankan masa muda untuk sesuatu yang tak memiliki kepastian. Biarlah cinta dan karir berjalan lurus apa adanya. Jangan pernah mengekang salah satunya, dan juga jangan membiarkan salah satunya mengekang jalan hidup Anda. Semaksimal mungkin, tetaplah fokus untuk mengembangkan kedua-duanya dengan kemampuan yang ada.


Lea Willsen
Kamar renung, 2010
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 10:30 AM

Situs-situs untuk Para Blogger

Sekadar berbagi informasi, mungkin Anda para blogger pantas coba berkunjung ke beberapa situs berikut:

1. MyTictac

MyTictac adalah sebuah situs yang menyediakan widget jam dalam berbagai bentuk dan tema yang kreatif serta artistik.

Kalau pun blog Anda telah memiliki widget jam dari penyedia lain, rasanya tak ada ruginya juga bila Anda coba berkunjung ke MyTictac. Di sana, Anda akan dibuat seolah benar-benar sedang berada dalam sebuah toko jam yang menyediakan sangat banyak jenis dan bentuk jam, dimulai dari yang digital, analog, bulat, segi empat, dan lainnya. Anda pasti membutuhkan waktu lumayan lama di sana untuk melihat-lihatnya. Berikut alamatnya:

www.mytictac.com

2. Copyscape

Para blogger yang kreatif, jangan biarkan konten Anda dicuri begitu saja oleh para plagiator yang tak memiliki rasa malu. Gunakanlah fasilitas yang tersedia pada situs Copyscape untuk melacak, memburu, dan menegur mereka. Berikut alamatnya:

www.copyscape.com

3. Biz Information

Mungkin benar, rasanya tak heran lagi, bila seorang blogger ingin mengetahui kira-kira sudah seberapa tinggi level PR (pagerank) blognya. Tapi pernahkah Anda berpikir, kira-kira berapa harga blog Anda bila diuangkan? Sekadar bermain-main, mungkin Anda boleh coba mengeceknya dengan situs Biz Information. Berikut alamatnya:

bizinformation.org/id/

4. PR Checker

Nomor empat ini khusus ditulis untuk blogger pemula saja. Yang sudah senior tentu sudah tahu, 'kan, apa itu situs PR Checker?

Ya, ketahuilah pagerank blog Anda dengan bantuan situs PR Checker. Berikut alamatnya:

www.prchecker.info

Sekian beberapa alamat situs yang dapat AD bagikan untuk para blogger. Mungkin masih terlalu sedikit. Namun AD akan kembali membagikannya lagi, bila di kemudian hari masih ada situs lain yang ditemukan oleh AD.

Untuk postingan seputar internet, komputer dan software berikutnya, AD akan menyajikan sebuah artikel yang membahas tentang trik internetan super cepat dengan menggunakan aplikasi Opera Mini (bukan Opera) yang diinstalkan pada komputer atau laptop.

Lah? Bukankah seharusnya Opera Mini hanya khusus untuk ponsel? Mungkinkah Opera Mini dapat bekerja pada komputer atau laptop? Jawabannya adalah bisa dan bahkan koneksinya jauh lebih cepat dari pada koneksi Opera Mini yang selama ini kita nikmati di ponsel.

Salam,
Admin




Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 12:31 AM

Saturday, November 20, 2010

Foto-Foto Imlek Bersama 2010

Foto bersama pada acara “Imlek Bersama 2010”. Awalnya foto ini akan dimuat di Rubrik TRP, Harian Analisa, Medan. Namun tak jadi, karena hasil jepetrannya terlalu buram. Hehe...

Kiri ke kanan (atas): Afrion (sastrawan senior Sumut), Kwa Tjen Siung (Redaktur TRP), Liven R, Yenti (teman Rita Nauli), Rita Nauli, Dewi, Leon, Suwanto.

Kiri ke kanan (bawah): Roveny, Onet Adithia Rizlan, Lea Willsen.

 Smile KP. Hehe...

Suwanto

Tawa Roveny & Liven R.

Bang Afrion.

Onet & Dewi. Lihat, yang digenggaman mereka itu novel karya Onet! Hehe...
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 2:01 PM

Monday, November 1, 2010

Tokoh Antagonis Idola: Kurei (Manga Fiksi: Flame of Recca)

Ditulis oleh: Lea Willsen
Cerita: Anzai Nobuyuki
Foto: Internet
Kurei  adalah kakak tiri Recca yang berbeda ibu. Ia lahir di 1571 (empat tahun sebelum lahirnya Recca), dan merupakan anak sulung Flame Master, Oka dari istri keduanya, Reina. Awalnya Kurei diakui sebagai penerus dari klan Hokage, karena ia memiliki kemampuan menciptakan dan mengendalikan kekuatan api, sama seperti ayahnya Oka. Tetapi, para sesepuh Hokage menganggapnya sebagai anak terkutuk, suatu ketika adik tirinya, Recca Hanabishi (anak Oka dari istri pertamanya, Kagero) ternyata  juga terlahir dengan memiliki kekuatan yang sama.
Kurei yang saat itu masih kecil pun divonis harus dibunuh oleh para sesepuh, agar dapat menyelamatkan klan Hokege dari ancaman kutukan. Namun, oleh usul Kagero yang merasa kasihan kepada Kurei, akhirnya Kurei pun tak perlu dibunuh, dan sebagai gantinya Kurei dan ibunya harus diasingkan pada sebuah kediaman.
Saat itu, Kurei merasa nasibnya bersama sang ibu sangatlah menyedihkan. Ia membenci Recca. Akibat kelahiran Recca yang ternyata juga memiliki kekuatan api, nasib mereka menjadi berubah total. Oleh kebencian itulah, ia pun diam-diam mencoba untuk membunuh Recca. Tetapi ternyata rencana tersebut gagal. Sebelum Kurei berhasil membunuh Recca--dan hanya berhasil menggoreskan segores luka pada pipi Recca yang saat itu masih bayi--Kurei pun tertangkap dan akhirnya dipenjara.
Tahun ke-4 Tenshou (1576). Tak lama setelah Kurei dipenjara, Oda Nobunaga mendadak menyerang klan Hokage. Hokage yang saat itu di bawah kepemimpinan Oka pun berperang dengan Oda Nobunaga. Namun karena saat itu Oka berpendapat bahwa kedatangan Oda Nobunaga tersebut adalah untuk merebut senjata-senjata Madougu sakti mereka lewat perang, Oka pun memutuskan untuk menyembunyikan Madougu dan meminta pasukannya berperang tanpa senjata. Naasnya ternyata tanpa menggunakan senjata, Hokage tak mampu melawan pasukan brutal dari Oda Nobunaga. Akhirnya perang pun berakhir dengan gugurnya Oka, beserta hancurnya Hokage.
Takut akan keselamatan putranya--Recca--saat itu Kagero pun menggunakan jurus terlarang Jikuryuri dan membuka gerbang dimensi waktu untuk  mengirim Recca ke masa depan. Dan bersamaan dengan terbukanya gerbang dimensi waktu, tanpa disadari Kagero, ternyata Kurei yang di tengah-tengah keributan berhasil meloloskan diri dari penjara dibantu oleh ibunya, Reina, telah berada di belakangnya. Kurei pun menyelamatkan diri dari pembantaian pasukan Oda Nobunaga dengan melompat masuk ke dalam gerbang dimensi waktu Kagero, dan bersama Recca terkirim menuju masa depan.
Di masa depan (400 tahun kemudian), Kurei terpisah dari Recca. Kurei ditemukan dan diadopsi oleh Tsukino Mori, istri seorang kaya, Kouran Mori. Berbeda dari sifat istrinya yang sangat mengasihi Kurei layaknya anak kandung, Kouran Mori yang menyadari kekuatan istimewa Kurei pun malah berniat menjadikan Kurei sebagai ‘mesin’ pembunuh, agar dapat mencapai segala keinginannya.
Kendati status Kurei tetap anak adopsinya di mata publik, namun di sisi lain berulang kali Kouran Mori telah memaksakan Kurei untuk hidup sebagai manusia tanpa emosi. Kouran Mori tak ingin Kurei memahami apa yang disebut dengan kasih, cinta, budi, dan sisi positif manusia lainnya. Dengan demikian, maka Kurei dapat menjalankan segala perintah-perintah tak manusiawinya tanpa berani membangkang. Bahkan, demi membentuk karakter jahat pada Kurei, Kouran Mori sengaja mengasingkan Tsukino di sebuah kediaman terpencil, agar Kurei tak dapat memeroleh kasih dari ibunya.
Akan tetapi, bagaimana pun Kouran Mori mengekang hidup Kurei, Kurei tetaplah manusia yang memiliki sisi buruk dan baik layaknya manusia pada umumnya. Ketika Kurei beranjak remaja, ia jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Kurenai. Mengetahui hal tersebut, Kouran Mori pun sengaja membunuh Kurenai secara sadis di depan mata Kurei. Hal itu pun menyebabkan trauma, frustrasi, serta luka hati yang amat menyakitkan untuk Kurei. Kurei sangat membenci Kouran Mori. Namun karena Kurei tak ingin lagi melihat Tsukino, ibu terkasihnya yang saat itu masih diasingkan (disandera) oleh Kouran Mori terbunuh lagi seperti Kurenai, maka ia memutuskan untuk mematuhi perintah Kouran Mori.
Kurei tak tahu semua penderitaan batinnya akan berlangsung sampai kapan. Yang jelas, seperti apa yang diharapkan Kouran Mori selama ini, dengan matinya sang kekasih, Kurei tak percaya lagi adanya kasih untuk dirinya. Ia memutuskan untuk menyembunyikan segala emosinya, dan menjadi pribadi yang tak berperasaan. Kurei tak ingin lagi siapa pun melihat sisi positif dari dirinya selain di hadapan Tsukino. Baginya, segala sisi positif yang ada dalam dirinya hanyalah aib yang kerap mendatangkan petaka untuknya. Di depannya hanya ada satu jalan hidup, yakni patuh pada Kouran Mori dengan melampiaskan segala kebencian pada orang lain, agar dapat melindungi Tsukino.
Setelah insiden matinya Kurenai, dengan segala beban batin yang ada pada dirinya, Kurei pun diminta Kouran Mori untuk memimpin sebuah organisasi besar Uruha. Uruha merupakan sebuah organisasi pembunuh yang memiliki jumlah anggota yang sangat banyak. Dan dengan berbekal kemampuan istimewa yang mampu menciptakan dan mengendalikan api, Kurei pun disegani oleh para anggota Uruha.
Sama halnya seperti ketua klan Hokage pada masa-masa sebelumnya, meskipun Kurei tak terpilih sebagai generasi pengganti ketua Hokage, namun Kurei juga memiliki kekuatan api yang memiliki wujud. Wujud utama dari api ungu yang dimiliki Kurei adalah seekor phoenix. Dengan wujud asli api yang tak pernah Kurei tunjukkan kepada orang lain itulah, ia memiliki kemampuan untuk menyerap jiwa seseorang yang telah tiada untuk dibangkitkan kembali menjadi wujud api miliknya yang baru.
Pertama kali Kurei menggunakan kemampuan istimewa apinya adalah ketika Kouran Mori membunuh Kurenai. Karena tak ikhlas dengan kepergian Kurenai, dengan wujud api phoenixnya, Kurei pun menyerap jiwa Kurenai ka dalam dirinya, dan  menjadikan Kurenai sebagai wujud api malaikat wanita cantik. Kemampuan itu kembali dipergunakan keduakalinya terhadap jiwa Jisho, seorang anggota setia Uruha yang gugur pada sebuah kompetisi membunuh ilegal (Ura Buttou Satsujin).
Lewat percakapan antara roh Oka dan Recca diungkap pula, sesungguhnya Kurei-lah yang merupakan pewaris sejati klan Hokage. Dan sebaliknya Recca-lah yang merupakan anak terkutuk dari segala peristiwa hancurnya Hokage.
Kendati disebut tokoh antagonis, namun sesungguhnya Kurei juga tak dapat dikatakan jahat sepenuhnya. Motif di balik segala kekejaman Kurei tak lain ialah dendam terhadap kelahiran Recca yang dirasa telah menghancurkan harapannya bersama sang ibu kandung, Reina, dan juga desakan dari Kouran Mori.
Pada bagian akhir cerita, dibantu oleh Joker, salah seorang anggota setia Uruha, akhirnya Tsukino berhasil diselamatkan dari cengkraman Kouran Mori. Dengan telah selamatnya Tsukino, maka Kurei tak perlu lagi mematuhi perintah Kouran Mori. Setelah sekian tahun dikekang, akhirnya ia telah bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.
Langkah pertama yang diambil Kurei tak lain ialah melawan Kouran Mori. Kurei tak ingin lagi melihat Kouran Mori berbuat lebih banyak. Bersama beberapa pengikut setianya, dan juga tim Hokage baru yang pada saat itu dipimpin oleh Recca, Kurei pun menerobos masuk ke sarang musuh, dan membantu Recca melawan Kouran Mori yang pada saat itu telah berhasil memeroleh kekuatan terbesar dari senjata sakti terlarang (Madougu Tendo Jigoku) klan Hokage.
Setelah semua konflik dengan Kouran Mori berakhir, akhirnya Kurei pun telah berdamai dengan Recca. Dengan   Jikuryuri, Kurei kemudian kembali ke masa lalu untuk membalaskan dendam ayahnya terhadap Oda Nobunaga, ditemani Kauru Kogane, seorang teman Recca yang selalu yakin bahwa sesunggunya di balik segala sikap dingin yang ditunjukkan Kurei, sesungguhnya Kurei adalah sosok yang memiliki sisi lembut. Dan memang itulah kenyataan yang ada.
***

10/2010
Referensi: manga “Flame of Recca” dan Wikipedia bahasa Inggris
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 1:05 PM

Entri Populer